REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia dinilai tidak terlalu berdampak atas kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Hal ini karena ekonomi Indonesia lebih bergantung pada domestik, yakni daya beli masyarakat.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, ekspor-impor Indonesia hanya 10 persen ke AS. Sehingga, dari segi perdagangan, kebijakan proteksionis AS tidak berdampak signifikan pada ekonomi dalam negeri.
"Kita bisa cukup percaya diri, bisa melewatinya (ketidakpastian global)," ujar Doddy dalam acara Kafe BCA: Economy Outlook 2017 di Menara BCA, Rabu (14/12).
Kebijakan Trump yang egosentris dengan tujuan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS dinilai akan mengakibatkan overheating sehingga suku bunga kebijakan bank sentral AS akan naik. Hal ini berdampak pada penarikan likuiditas dari negara lain (capital inflow).
Kendati begitu, The Fed tidak akan secara agresif menaikkan suku bunga acuan karena negara-negara lain lebih banyak yang melakukan pelanggaran kebijakan moneter. Selain itu, hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena likuiditas global masih cukup tinggi.
Apalagi saat ini fundamental ekonomi nasional dinilai solid dengan inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang sebesar 1,8 persen pada kuartal III 2016. "Kami optimistis dengan fundamental ekonomi Indonesia yang baik," tuturnya.
Adanya aliran modal keluar (capital outflow) yang terjadi beberapa waktu lalu sekitar 3 miliar dolar AS tersebut menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara berkembang lainnya. Meskipun demikian, Doddy menilai akan lebih banyak aliran modal yang masuk ke Indonesia ke depan.
"Indonesia itu atraktif, selisih bunga kita dengan The fed nggak terlalu banyak. itu memberi daya tarik sendiri,"katanya.