REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan Presiden Joko Widodo untuk mengubah persepsi nilai tukar rupiah tidak lagi mengacu kepada dolar AS, tampaknya tidak akan bisa terwujud. Sebab, mayoritas perdagangan dunia dan aset negara-negara di dunia masih menggunakan dolar AS.
Analis Riset Samuel Sekuritas, Rangga Cipta mengaku setuju dengan pernyataan Presiden bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak lagi menggambarkan utuh fundamental perekonomian Indonesia, begitupun dampaknya terhadap variabel makro lainnya. "Tapi itu kan bukan cuma tolak ukur di Indonesia, tapi di dunia yang muncul secara alami," ujar Rangga pada Republika, Selasa (6/12).
Rangga menjelaskan, dalam teori ekonomi memang seharusnya kurs suatu negara diukur terhadap kurs rekan dagang, yang dalam praktiknya diukur berdasarkan bobot nilai dagang terhadap total perdagangan (ekspor+impor). Ini biasanya disebut dengan Effective Exchange Rates (EER).
Jadi kenaikan EER biasanya mencerminkan penguatan rupiah terhadap kurs rekan dagang dan sebaliknya. Akan tetapi, kata Rangga, memang hal tersebut kurang sejalan dengan dinamika pasar keuangan yang biasanya memang mengacu pada dolar AS.
"Mayoritas perdagangan dunia juga saat ini masih menggunakan dolar AS, begitupun mayoritas aset yang dipegang sebagai cadangan devisa negara-negara di dunia, termasuk Cina sendiri," jelasnya.
Rangga menuturkan, dolar AS bukan hanya menjadi patokan kurs tetapi juga menjadi alternatif aset bersama aset-aset lainnya seperti emas, obligasi, ataupun saham. Kendati begitu, pada waktunya nanti ketika mata uang Yuan sudah semakin mendunia, kurs rupiah terhadap Yuan akan semakin banyak digunakan sebagai acuan, seperti misalkan euro-rupiah ataupun poundsterling - rupiah.
"Walaupun masih akan butuh waktu lama jika ingin dijadikan acuan utama seperti rupiah terhadap dollar AS," imbuhnya.
Di sisi lain, secara fundamental ia menilai tidak akan ada pengaruhnya kalau pemerintah mempromosikan rupiah-yuan sebagai tolak ukur. Kecuali, menurut Rangga, Bank Indonesia memperbesar jumlah cadangan devisa yuan secara signifikan. Hal itu ia nilai mungkin bisa ada pengaruh fundamental walaupun tidak besar.
"Saya nggak tahu berapa lama (rupiah-dolar AS diganti jadi rupiah-yuan) yang pasti itu nggak akan terjadi karena instruksi seorang pemimpin di negara manapun. Itu harus terjadi karena proses alami," tandasnya.
Sebelumnya Presiden Jokowi menjelaskan, kurs dolar AS sudah tidak lagi mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Artinya, nilai tukar dolar AS mengarah pada pencerminan kebijakan situasi pasar di dalam negeri AS. Kondisi ini akan menuntun kepada menguatnya dolar AS dibanding nyaris seluruh mata uang utama dunia.
Menurut Jokowi, fenomena ekonomi dunia ini tidak menguntungkan Indonesia. Ia meminta, persepsi nilai tukar rupiah tak lagi mengacu kepada dolar AS, tetapi kepada mata uang negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Cina, Jepang, atau Eropa.