REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi padi nasional mencapai angka tertinggi selama Indonesia merdeka. Berdasarkan angka ramalan II (Aram II) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun ini mencapai 79,141 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,96 persen dibandingkan tahun lalu.
“Ini artinya kita sukses memproduksi padi tertinggi sejak bangsa ini merdeka,” kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman kepada Republika, Selasa (6/12).
Amran melanjutkan, kenaikan angka produksi padi melanjuti tren peningkatan produksi padi selama dua tahun terakhir. Dibandingkan 2014, pada 2015 produksi padi meningkat 6,37 persen dari 70,846 juta ton menjadi 75,398 juta ton. Begitu pun produksi jagung yang meningkat 3,17 persen dari 19 juta ton pada 2014 menjadi 19,6 juta ton pada 2015. “Untuk jagung, diperkirakan akan mencapai 23 juta ton di akhir 2016,” ujar Mentan.
Menurut Mentan, keberhasilan upaya peningkatan produksi padi dan jagung membuat pemerintah tidak melakukan impor beras di 2016 dan impor jagung turun sampai dengan 60 persen. Pada tahun ini juga pemerintah tidak melakukan impor bawang dan cabai.
Kepala Biro Humas Informasi Publik Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menambahkan, sejumlah catatan baik peningkatan produksi pangan harus diakui sebagai dampak upaya khusus pembangunan pertanian yang telah diamanahkan Presiden Joko Widodo. Karena itu, kata dia, tren produksi padi yang terus meningkat sejak dua tahun terakhir patut disyukuri.
Apalagi, pada 2015 dan 2016, wilayah Indonesia dilanda cuaca ekstrem dengan adanya El-Nino dan La-Nina berturut-turut. “Angka produksi saat ini merupakan indikator bahwa subsidi pertanian telah berkontribusi nyata terhadap produksi komoditas pangan. Ini domain Kementan dan kami sudah melakukannya,” kata Agung.
Menurut Agung, subsidi bukan sekadar charity, namun sebagai sarana efektif transfer teknologi, pemupukan berimbang, dan penggunaan benih unggul kepada petani. Subsidi pertanian pun berjalan seiring dengan berbagai kebijakan berupa regulasi, membangun infrastruktur hulu-hilir, mekanisasi pertanian, mengatur tata niaga pangan, serta mengendalikan impor dan mendorong ekspor.
“Hasilnya, selama dua tahun ini sudah terlihat dan dinikmati petani,” ujarnya.
Kepala Sub Bidang Data Sosial Ekonomi Kementan Ana Astrid menyatakan, apabila membandingkan dengan kondisi musibah El-Nino dan La-Nina yang terjadi pada periode 1998-1999, seharusnya pemerintah sudah kewalahan dalam mencukupi kebutuhan beras domestik. Pada 2015, kata Ana, Indonesia terkena musibah El-Nino yang lebih tinggi dibandingkan 1998. Begitu pun La-Nina yang kembali terjadi pada tahun ini.
Pada 1998, Indonesia diterjang El-Nino sehingga mengharuskan pemerintah impor 7,5 juta ton beras untuk mencukupi 200 juta penduduk. Begitu pun saat La-Nina menghantam Nusantara pada 1999 yang memaksa pemerintah melakukan impor 5 juta ton beras. Saat kondisi serupa menerjang Indonesia pada 2015-2016, Ana melanjutkan, pemerintah tetap mampu meningkatkan produksi padi sehingga tidak ada rekomendasi dan ijin impor beras premium.
“Bila tidak ada upaya khusus dan antisipasi El-Nino dan La-Nina, maka impor beras 1998-1999 sebesar 12 juta ton bila diekstrapolasi dengan jumlah penduduk sekarang, maka semestinya 2016 ini membutuhkan impor 16,6 juta ton,” katanya.
Menurut Ana, keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produksi dan menyediakan pangan pun mendapatkan pengakuan dunia. Data The Economist Intelligence Unit menunjukkan Indeks Ketahanan Pangan Global atau Global Food Security Index (GFSI) Indonesia pada 2016 meningkat dari peringkat ke 74 menjadi ke 71 dari 113 negara. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengalami perubahan terbesar pada indeks keseluruhan, yakni 2,7.
“Aspek ketersediaan pangan Indonesia pada 2016 pun naik tinggi dan berada pada peringkat ke 66, jauh di atas peringkat keseluruhannya (71),” ujar Ana.