Rabu 07 Dec 2016 03:42 WIB

Tekanan Global Mereda, Rupiah Menguat

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
 Pekerja menghitung uang rupiah di salahsatu tempat penukaran, Jakarta, Jumat (2\12).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja menghitung uang rupiah di salahsatu tempat penukaran, Jakarta, Jumat (2\12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah kembali menguat, menembus Rp 13.370 per dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (6/12), setelah selama lebih dari dua pekan mencapai kisaran Rp 13.500 per dolar AS. Bank Indonesia (BI) menilai hal ini menunjukkan faktor fundamental yang stabil mampu menopang nilai tukar rupiah untuk menguat.

Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung menjelaskan, penguatan rupiah terjadi karena adanya capital inflow (aliran modal masuk). "Hari ini kan positif, jadi saya kira ada inflow juga. Saya lihat the all year masih kondusif untuk 2016," ujar Juda Agung di Jakarta, Selasa (2/12).

Menurut Juda, nilai tukar sangat terpengaruhi oleh ketidakpastian yang sangat tinggi. Sementara pada tahun depan masih banyak ketidakpastian dari global, utamanya faktor kondisi AS, sehingga ekonomi domestik harus siap menghadapinya.

Bahkan di AS sendiri belum mengetahui seberapa besar dampak kebijakan Trump pada perekonomian global, terhadap dana-dana yang masuk ke negara berkembang. Sejak kemenangan Trump di Pilpres AS, aliran modal keluar (capital outflow) di Indonesia dari Surat Utang Negara dan Obligasi mencapai lebih dari Rp 30 triliun, sedangkan secara periode Januari - November 2016 yakni sebesar Rp 105 triliun year to date. Untuk itu, faktor dari AS masih perlu diwaspadai.

Sementara faktor global lainnya, kata Juda, semakin menambah ketidakpastian global. Misalnya Italia, apabila Perdana Menteri baru Italia lebih nasionalis atau anti Uni Eropa, ini bisa menimbulkan risiko. Hal yang sama juga berlaku pada Prancis yang diperkirakan akan lebih nasionalis.

Dengan demikian, ia menilai faktor domestik menjadi sangat penting, yakni fundamental harus menjadi jauh lebih baik. Dengan defisit transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) diperkirakan di akhir tahun bisa 1,9 persen. Inflasi terjaga di batas bawah target bank sentral, kemudian peningkatan volume ekspor migas.

Dengan adanya berbagai ketidakpastian tersebut, Juda masih belum dapat memperkirakan kondisi nilai tukar rupiah pada tahun depan. "Saya sulit untuk mengatakan karena faktor ketidakpastian masih ada. Positifnya juga ada. Kalo level, nobody knows. Tapi dari domestiknya positif, dari global ada uncertainty sehingga kita harus lebih berhati,"katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement