REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peranti lunak ilegal atau palsu berpotensi membahayakan keamanan transaksi konsumen dalam melakukan aktivitas jual-beli dalam jaringan (daring). Hal itu diungkapkan Presiden Direktur Microsoft Indonesia Andreas Diantoro di Jakarta, Selasa (29/11).
"Konsumen yang sudah membeli serta menggunakan peranti lunak palsu terpapar risiko masuknya virus dan malware ke dalam perangkat mereka, yang juga akan merugikan dari segi waktu dan materi yang terbuang," kata dia.
Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan serta perkembangan e-commerce yang ada di Indonesia. Mengingat bisa berpengaruh terhadap kredibilitas konsumen saat belanja daring.
Sedangkan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) melalui penerbitan roadmap e-commerce menekankan komitmen pemerintah untuk memajukan pasar tersebut yang diprediksi akan menghasilkan nilai transaksi sejumlah 130 miliar dolar AS atau sekitar Rp 417 triliun pada tahun 2020.
Secara spesifik pemerintah juga menekankan dua aspek penting terhadap rencana itu, yaitu perlindungan konsumen dan keamanan siber, agar konsumen dapat merasa terlindungi saat melakukan transaksi dalam jaringan. Atas dukungan dari Microsoft Indonesia, lima e-commerce di tanah air menandatangani perjanjian kerja sama untuk melindungi konsumen dari peranti lunak palsu dan bajakan, yang sedang marak diperjualbelikan.
Lima e-commerce tersebut adalah Bhinneka.com, Blanja.com, Blibi.com, JD.ID, dan Lazada Indonesia. Ia mencontohkan salah satu kasus yang sering terjadi akibat menggunakan peranti lunak palsu atau bajakan adalah kehilangan uang dalam jumlah tertentu di bank.
"Di dunia ini, kita bisa lihat banyak orang yang kehilangan uang di bank tanpa mereka tahu karena jumlahnya kecil, tapi berulang-ulang," kata dia.
Software adalah salah satu barang yang sering dipalsukan, selain obat-obatan, makanan dan minuman, kosmetik, barang-barang yang terbuat dari kulit, pakaian serta tinta komputer, berdasarkan survei Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP).
Kemudian, Sekretaris Jenderal MIAP Justisiari P. Kusumah, menyatakan kerugian pajak akibat peredaran barang-barang palsu adalah Rp 43,2 triliun pada periode 2010-2014. Selain menimbulkan kerugian pajak, peredaran barang palsu dapat mengurangi kesempatan kerja karena investor berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya.