REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai rencana penerapan perhitungan rata-rata Giro Wajib Minimum Primer (GWM Averaging) per periode, memang diperlukan untuk memperlonggar kecukupan dana tersedia atau likuiditas di perbankan.
"Kami juga ingin lihat efektivitasnya dari inovasi ini," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad usai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Selasa (22/11) malam.
Kalangan bankir juga menilai pelonggaran dari kewajiban GWM tersebut akan menambah alternatif sumber pendanaan bank untuk mengekspansi kreditnya. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, dengan perhitungan GWM yang bukan setiap hari, bank akan mendapat beban biaya lebih murah dalam memperoleh likuiditas, karena tidak perlu membayar bunga dari pinjaman di Pasar Uang Antara Bank (PUAB).
"Jadi bisa pakai cadangan GWM sendiri, daripada minjem di pasar. Kalau di pasar bunganya akan lebih mahal," kata dia.
Kebijakan GWM Averaging tersebut direncanakan Bank Indonesia akan berlaku pada semester II 2017. Dengan GWM Averaging, BI akan menghitung dana milik bank yang diwajibkan untuk disimpan di giro Bank Indonesia secara rata-rata per periode.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan periode GWM Averaging bisa berkisar antara dua pekan hingga tiga pekan. Saat ini, ketika GWM Averaging belum berlaku, BI menghitung dana milik bank yang disimpan di giro BI per harinya, bukan per periode.
Misalkan, saat ini rasio GWM-Primer atau yang diartikan sebagai simpanan minimum bank dalam rupiah atau valas di BI sebesar 6,5 persen. Setiap waktu, bank harus menaruh 6,5 persen dari total Dana Pihak Ketiga bank di giro BI.
BI memperkirakan dengan likuiditas yang lebih baik pada 2017, dan pemulihan kondisi ekonomi, pertumbuhan kredit bank dapat tumbuh 10-12 persen, sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) bank 9-11 persen.