Rabu 16 Nov 2016 16:05 WIB

Ekonomi Tahun Depan Diperkirakan Masih Berjalan Lambat

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri (kiri) menjadi pembicara dalam dialog ekonomi UOB Indonesia Economic Outlook 2017, Jakarta, Rabu (16/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri (kiri) menjadi pembicara dalam dialog ekonomi UOB Indonesia Economic Outlook 2017, Jakarta, Rabu (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iklim perekonomian domestik Indonesia pada 2017 mendatang diperkirakan masih penuh tantangan. Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan, perlambatan ekonomi global masih berpotensi terjadi hingga tahun depan.

Kondisi tersebut dinilainya akan terus mendorong Indonesia bertopang pada konsumsi domestik dibanding dengan perdagangan internasional. Namun, dengan ruang fiskal yang masih sempit maka mau tak mau pemerintah harus membuat kebijakan yang membuka celah pertumbuhan ekonomi.

Chatib menyebutkan, pemerintah membutuhkan rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,6 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. Artinya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar enam persen, maka dibutuhkan rasio investasi terhadap PDB hingga 39 persen.

Perhitungan sederhana ini menunjukkan bahwa pemeirntah harus bisa menggenjot investasi tahun depan untuk bisa menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 bisa menyentuh 5,2 persen bila pemerintah konsisten mendorong seluruh faktor pendorong pertumbuhan terutama investasi.

Peningkatan investasi, ujarnya, bisa digenjot dengan adanya deregulasi ekonomi dan pemberian berbagai kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia termasuk pelaku usaha yang akan memulai usahanya di sini. Meski begitu, Chatib memberikan catatan kepada pemerintah terkait sudah adanya 14 paket kebijakan ekonomi yang dampaknya belum terasa.

Chatib melihat, permasalahan utamanya ada pada minimnya permintaan seiring dengan lesunya ekonomi. Artinya, pelaku usaha juga enggan meminjam dana dari perbankan sekalipun suku bunga diturunkan. Alasannya, produk tidak akan terserap ketika permintaan tidak ada. Justru, ketika produksi tetap gencar dilakukan yang ada malah banjir suplai.

"Orang kan spend uangnya, begitu permintaan ini ada jadi peluang dan akan investasi. Persoalannya, ruang stimulus fiskal terbatas," ujar Chatib, Rabu (16/11).

Di sisi lain, Chatib juga memproyeksikan Bank Sentral AS bakal urung menaikkan suku bunga perbankannya di akhir tahun ini. Alasannya, perekonomian AS yang masih belum pulih sepenuhnya pascra-pemilihan presiden bulan ini membuat The Fed akan kembali berpikir ulang untuk menaikkan suku bunganya.

Chatib juga menyebutkan bahwa Indonesia harus waspada atas rencana Trump untuk memangkas pajak dan meningkatkan belanja pemerintah di sektor infrastruktur. Menurutnya, rencana ini membuka ruang pelebaran defisit di ruang fiskal AS. Akhirnya, untuk membiayai defisit tersebut dibutuhkan penerbitan obligasi yang akan membuat suku bunga jangka menengah akan naik. "Secara umum, tahun depan kita masih alami konsumsi swasta yang masih datar. Ekspor stagnan, investasi yang masih lambat, konsumsi pemerintah yang ruang fiskalnya sempit," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement