Senin 14 Nov 2016 17:23 WIB

Pedagang Tempe Kelimpungan Akibat Naiknya Harga Kedelai

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Andi Nur Aminah
Pekerja sedang membungkus tempe untuk difermentasi
Foto: Antara
Pekerja sedang membungkus tempe untuk difermentasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Berbagai kebutuhan masyarakat, sejak beberapa pekan terus mengalami kenaikan. Tak terkecuali dengan harga kedelai yang kebanyakan merupakan kedelai impor.

Harga kedelai yang sebelumnya di pasaran di jual seharga Rp 6.900, saat ini dijual dengan harga Rp 7.250. "Kenaikan harga kedelai ini, berlangsung sejak sepekan lalu. Awalnya, naiknya hanya Rp 100 per kg. Namun setiap hari terus mengalami kenaikan, hingga menjadi Rp 7.350 per kg," jelas Sumarman, pengrajin tempe asal Desa Pliken Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas, Selasa (14/11).

Dia menyebutkan, sejak beberapa hari terakhir, harga kedelai seperti tidak menentu. Harga yang di jual pedagang pada pagi hari, bisa berbeda saat ada orang yang membeli pada sore hari. Pada Ahad (13/11) misalnya, sesama pengrajin tempe membeli kedelai pada pagi hari, harganya masih Rp 7.250. Namun saat sore hari harga kedelai sudah naik menjadi Rp 7.350.

Kondisi ini, Sumarman mengatakan, sangat memberatkan usahanya berjualan tempe. Dengan kenaikan harga saat ini yang selisih kenaikannya mencapai Rp 400 per kg, maka bila tidak disiasati keuntungannya menjadi sangat kecil. "Bahkan bisa merugi," katanya.

Namun untuk menaikkan harga jual tempe yang dibuatnya, dia mengaku khawatir barang dagangannya tidak laku. "Yang membuat dan berjualan tempe tidak hanya saya saja. Kalau saya naikkan harga jualnya, sementara pengrajin yang lain tidak, maka saya bisa ditinggalkan pelanggan," tambahnya.

Untuk itu, agar pelanggan tetap membeli barang dagangannya dan keuntungannya tidak tergerus, dia menyiasati dengan memperkecil ukuran tempe buatannya. Siasat seperti ini, dia mengatakan, juga dilakukan pedagang lain. "Agar tidak merugi, kami terpaksa memperkecil ukuran tempe," jelasnya.

Sumarman mengaku, skala usahanya untuk membuat tempe masih belum terlalu besar. Setiap hari dia membutuhkan bahan baku kedelai sebanyak 47 kg. Demikian juga para perajin tempe di desanya, kebanyakan hanya membutuhkan bahan baku kedelai pada kisaran yang sama.

"Namun karena jumlah pengrajin tempe di desa kami cukup banyak, ada sekitar 568 pengrajin, maka kedelai yang dibutuhkan di desa kami menjadi cukup besar. Mungkin mencapai 13 ton per hari," jelasnya.

Dia mengakui, kedelai yang digunakan memang merupakan kedelai impor yang kabarnya didatangkan dari Amerika Serikat. Alasanya ukuran kedelainya lebih besar dari kedelai lokal. Dengan menggunakan kedelai impor, kualitas tempe yang dihasilkan juga menjadi lebih baik. Kalau menggunakan kedelai lokal, dia mengatakan, selain ukurannya lebih kecil juga kualitasnya tidak baik.

Dia menduga, kenaikan harga kedelai sejak sepekan terakhir ini, dipengaruhi oleh kenaikan kurs dolar AS terhadap mata uang rupiah. "Biasanya selalu begitu. Kalau nilai rupiah terhadap dolar melemah, pasti harga kedelai ikut naik,"  katanya. n eko widiyatno

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement