Senin 14 Nov 2016 06:10 WIB

Industri Keuangan Syariah Memasuki Fase Konsolidasi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
keuangan syariah/ilustrasi
Foto: alifarabia.com
keuangan syariah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Karim Consulting Adiwarman Karim mengatakan, kinerja industri keuangan syariah global memasuki fase konsolidasi. Kondisi serupa juga terjadi pada industri keuangan syariah di dalam negeri.

Dalam Islamic Finance Service Industry Stability Report 2016 terlihat bahwa kinerja industri keuangan syariah global memasuki fase konsolidasi sejak 2014. Pada 2015, perbankan syariah dan takaful hanya tumbuh satu digit, meski pada periode sebelumnya yakni 2008-2013 selalu tumbuh dua digit.

Sementara itu, volatilitas pasar modal syariah seperti sukuk, saham syariah, dan reksa dana syariah juga meningkat seiring dengan menurunnya kinerja korporasi dan sentimen pasar. Selain itu, beberapa investor juga menunda penerbitan sukuk. 

"Masuknya fase konsolidasi ini juga dialami oleh keuangan syariah domestik," ujar Adiwarman kepada Republika, Ahad (13/11).

Adiwarman menjelaskan, pada periode 2008-2013 aset perbanan syariah nasional pernah tumbuh rata-rata 40 persen. Kemudian, hingga Agustus 2016 aset perbankan syariah tumbuh 4,8 persen. Sementara itu, pembiayaan hanya tumbuh 7 persen dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sedikit lebih baik yakni 13 persen. 

Ada beberapa hal yang menjadi tantangan bagi industri keuangan syariah, diantaranya portofolio pembiayaan. Menurut Adiwarman, pembiayaan industri keuangan syariah masih terkonsentrasi pada sektor tertentu yang bersifat konsumtif berupa kendaraan bermotor dan personal loan

Di sisi lain, sebagai lembaga intermediasi, bank syariah tetap terkespose risiko likuiditas. "Akibatnya, pengelolaam risikolikuiditas bank syariah melalui pasar uang belum optimal karena keterbatasan instrumen yang likuid." kata Adiwarman.

Selain itu, tantangan lainnya yakni terkait dengan skala ekonomi. Perbankan syariah belum bekerja setara dengan bank konvensional dalam konteks skala ekonomis yang dipengaruhi oleh permodalan dan kapasitas. 

Preferensi konsumen juga dinilai menjadi tantangan karena pemahaman yang belum cukup terhadap produk-produk perbankan syariah. Masih terbatasnya data terkait ekonomi dan keuangan syariah yang diperoleh membuat data perbankan merupakan indikator utama yang dapat digunakan saat ini. 

Berdasarkan data yang ada, perkembangan aset dan intermediasi perbankan syariah wilayah Indonesia timur relatif belum secepat Jawa dan Sumatra. Rasio aset, pembiayaan, dan DPK syariah di wilayah Indonesia timur pada Agustus 2016 tercatat menurun dan relatif lebih rendah dari wilayah lainnya. Adiwarman mengatakan, sosialisasi dan pengenalan produk yang lebih intensif perlu terus dilakukan oleh perbankan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement