REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serapan produksi gas, khususnya gas alam cair atau elpiji, terdesak kapasitas ekspor Indonesia. Pembagiannya, nyaris separuh produksi gas nasional sebanyak 48 persen diekspor ke luar negeri.
Sebanyak 52 persen produksi gas sisanya, terserap di industri dalam negeri termasuk pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN menilai tertekannya serapan gas dalam negeri juga terimbas oleh target pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara. Seperti diketahui, penerimaan negara dari ekspor gas cukup tinggi.
Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup menjelaskan, selain target akibat penerimaan negara, tingginya ekspor gas disebabkan masih minimnya infrastruktur gas di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global yang melemah, juga berimbas pada permintaan di dalam negeri yang rendah membuat produsen gas memilih untuk mengekspor hasil produksinya.
"Gas tidak ekonomis jika disimpan terlalu lama. Lalu belum ada pasar gas, masih butuh waktu," ujar Heri akhir pekan ini.
Heri mengatakan, demi meningkatkan geliat pasar domestik emiten berkode PGAS tersebut telah membangun jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang 7.200 kilometer (km).
Panjang jaringan pipa tersebut setara dengan 78 persen panjang total pipa gas bumi di sektor hilir di seluruh Indonesia. Heri menambahkan, pipa gas yang dibangun PGN tersebar di beberapa wilayah, seperti pipa transmisi open access, untuk distribusi, dan transmisi, jalur Muara Bekasi-Semarang, pipa distribusi Batam WNTS-Pemping, pipa transmisi open access Duri-Dumai-Medan, dan pipa distribusi gas bumi di wilayah eksisting, dan daerah baru lainnya.
Ia mengaku, dana yang dipakai untuk membangun jaringan pipa gas PGN berasal dari internal perusahaan dan tidak mengandalkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak awal tahun, PGN gencar menambah infrastruktur pipa gas bumi mencapai 1.680 km hingga 2019 mendatang. Perseroan menargetkan total panjang pipa gasnya menjadi sepanjang 8.656 km. Sebagai informasi, akhir tahun lalu PGN menyalurkan gas bumi 1.591 juta kaki kubik per hari. Dari jumlah tersebut, perusahaan mengklaim adanya penghematan secara nasional sebesar Rp 88,03 triliun per tahun.
"Penambahan infrastruktur gas ini dapat meningkatkan kemampuan pemanfaatkan gas bumi sebanyak 1.902 juta kaki kubik per hari (MMSCFD)," kata Heri.
Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai, minimnya serapan gas di dalam negeri adalah konsekuensi dari minimnya infrastruktur yang ada. Hal ini menurutnya yang membuat produsen melempar produk LNG ke pasar ekspor. Hanya saja, Marwan menilai lesunya pasar global membuat tingginya produk LNG yang sulit terserap. Bahkan tahun depan ada 40 kargo yang berpotensi belum diminati pembeli.
"Jadi meskipun sekarang ini ada kelebihan kargo dari Tangguh atau Donggi Sengoro tidak bisa diserap karena bentuknya LNG. Harus diubah jadi gas lagi sementara terminal ada di 3 tempat kan, ada di Muara Karang, Lampung, dan Arun. Dan itu sudah menyerap dari yang kelebihan tadi. Jadi ya, seandainya tetap diekspor, karena memang kita tidak bisa menyerap akibat terbatasnya infrastruktur," ujarnya.
Marwan menambahkan, salah satu jalan bagi pemerintah untuk bisa memasarkan LNG adalah dengan memberikan subsidi silang dari daerah memiliki konsumen LNG banyak, kepada daerah dengan konsumen sedikit.
"Ini hanya bisa dilakukan kalau BUMN punya hak monopoli. Yang ada sekarang sudha sangat liberal. Tempat-tempat yang padat konsumen swasta bisa masuk. Akibatnya kesempatan BUMN untuk dapatkan untung lebih besar itu hilang. Berkurang. Padahal kalau keuntungan tinggi untung ini bisa dipakai untuk membangun di tempat yang rendha konsumen tadi," katanya.