Jumat 14 Oct 2016 06:52 WIB

Ombudsman Desak Penghentian Perang Tarif Operator Seluler

Red: Nur Aini
Tarif operator seluler, ilustrasi
Foto: http://smallbusiness.uprinting.com
Tarif operator seluler, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Direktorat Jenderal Pajak, didesak segera turun tangan untuk mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.

"Jika perang harga ini terus terjadi maka potensi penerimaan negara dari pajak penjualan (Ppn) akan berkurang," kata Komisioner Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, di Jakarta, Kamis (13/10).

Menurut Alamsyah, perang tarif seluler yang terjadi saat ini merupakan imbas dari polemik antar operator yang dipicu revisi PP 52/53 Tahun 2000 tentang telekomunikasi. Beberapa waktu lalu, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telpon antaroperator, menyusul Indosat Ooredoo yang terlebih dulu mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telpon antaroperator. Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antaroperator yang dijual di bawah harga pokok produksinya.

Paket telepon Indosat ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dengan harga Rp 135 ribu atau Rp 225 per menit, sementara XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dengan harga Rp 120 ribu atau Rp 200 per menit. "Jika merujuk penetapan tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 250 per menit, ini artinya kedua operator tersebut melakukan dumping atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan (HPP)," kata Alamsyah.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan KPPU dan Ditjen Pajak harus segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif.

"Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tersebut mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak," katanya.

Ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, akan membuat operator merugi. Jika merugi maka operator tak membayar pajak. Akibatnya negara tidak bisa melakukan belanja publik.

Yustinus menjelaskan saat ini hanya satu operator telekomunikasi saja yang membayar PPh badan. Operator yang lain selalu rugi fiskal karena rugi selisih kurs dan biaya bunga. Seharusnya jika untung, maka operator tersebut masing-masing bisa membayar PPh badan sebesar Rp 2 triliun per tahun.

"Modus-modus seperti ini seharusnya diperiksa KPK dan Ditjen Pajak. Apalagi operator yang menggunakan nama Ooredoo, sudah pasti mereka membayar lisensi fee dan mengurangi pendapatan negara lagi," katanya.

"Di dalam pajak ada istilah pajak substance over form. Harus diuji apakah penggunaan merek akan meningkatkan kinerja atau profitabilitas. Kalau tidak ada kontribusinya itu tidak boleh dibayarkan," kata Yustinus.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement