Rabu 07 Sep 2016 16:20 WIB

Pengusaha Smelter Kritik Rencana Menko Luhut

Rep: Debbie Sutrisno‎/ Red: Budi Raharjo
Pabrik pengolahan bahan mineral. (Ilustrasi)
Pabrik pengolahan bahan mineral. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menilai langkah Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan kurang tepat untuk melonggarkan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Selama ini perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) masih membutuhkan pasokan mineral dari perusahaan tambang.

Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso mengatakan, kebijakan yang akan diambil ini tidak selaras dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri khususnya mineral tambang. Padahal peningkatan nilai tambang sudah tercantum pada Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 3 tahun 2013 tentang Perindustrian, dan Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Kita tahu bahwa pada 12 Januari 2017 ini batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat, yang artinya tidak ada lagi mineral (bukan bijih/ore) yang diekspor. Atau dalam bahasa lain sudah tidak boleh lagi ekspor tanah dan air," kata Prihadi dalam konferensi pers, Rabu (7/9).

‎Menurut Prihadi, ketika pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor bijih maka komitmen pemerintah akan dipertanyakan banyak pihak, termasuk investor luar negeri. Investor akan menganggap bahwa pemerintah tidak serius dan tidak mempunyai konsep jelas dalam melakukan program hilirisasi peningkatan nilai tambah sumber daya mineral.

Selain berdampak negatif pada iklim investasi yang saat ini ingin diperkuat pemerintah melalui sejumlah paket kebijakan, relaksasi mineral juga bisa mempersulit pasokan mineral untuk perusahaan smelter di dalam negeri. Padahal selama ini perusahaan smelter yang tergabung dalam asosiasi saja mampu menginvestasikan dana sebesar 12 miliar dolar AS. Nilai ini bisa bertambah jika saja pemerintah memegang teguh komitmen dalam UU Nomor 4 tahun 2009.

Prihadi menuturkan, relaksasi mineral juga bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang berniat meningkatkan kualitas perusahaan smelter dalam negeri. Sebab dengan perbaikan industri smelter dan hasil yang dikeluarkan, maka nilai tambah bagi industri pertambangan dalam negeri bisa semakin baik.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement