REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri halal berkembang pesat di dunia. Bisnis yang berbasis pada sistem ekonomi Islam itu bukan hanya dikembangkan oleh negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, tetapi juga negara-negara yang sebagian penduduknya non-Muslim.
“Industri halal dianggap sebagai peluang besar yang menjadi kebutuhan dan gaya hidup (halal lifestyle). Tren halal sangat prospektif, baik dari sisi keislaman maupun bisnis. Industri halal kini menjadi tren global,” kata Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar kepada Republika, Selasa (30/8/2016).
Sapta menambahkan, jumlah penduduk Muslim dunia saat ini mencapai 1,8 miliar jiwa atau 25 persen dari total jumlah penduduk. Perdagangan Islam atau barang-barang halal mewarnai perdagangan dunia secara signifikan.
“Ekspor-impor barang-barang halal global sangat signifikan. Tak heran kalau group-group bisnis besar dunia, seperti Nestle dan Indofood sangat peduli membuat dan menjual produk-produk halal,” tuturnya.
Sapta menjelaskan, ada 10 sektor halal lifestyle yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian dunia. Yaitu: makanan, keuangan, travel, kosmetika, pendidikan, fashion, media recreation, farmasi, kesehatan, serta seni dan budaya. “ Global Islamic Economic Report tahun 2015 memaparkan, nilai ekonomi halal industri mencapai 1,8 triliun dolar AS,” ujar Sapta.
Namun, Sapta menambahkan, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, belum menjadikan industri halal ini sebagai motor ekonomi nasional. Posisi Indonesia saat ini berada dalam peringkat ke-10 dalam industri dan pasar halal dunia. Peringkat pertama diduduki Malaysia. Peringkat berikutnya berurutan: Emirat Arab, Bahrain, Saudi Arabia, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Jordan, dan Indonesia.
“Tren konsumen halal lifestyle meningkat dan berkembang besar. Kalau pada 2015 nilai ekonomi mencapai 1,8 triliun dolar AS,maka tahun 2020 diperkirakan mencapai 2,6 triliun dolar AS,”ungkap Sapta Nirwandar.