Senin 29 Aug 2016 14:19 WIB

Pengusaha Tekstil Keluhkan Harga Gas

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nidia Zuraya
Industri tekstil, ilustrasi
Industri tekstil, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA ‎-- Pengusaha industri teksil dan produk tekstil (TPT) mengeluhkan harga gas yang masih tinggi di Indonesia. Padahal pesiang industri TPT di negara lain sudah mendapatkan harga gas yang relatif murah dalam menjalankan produksi.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, untuk mendapatkan pasokan gas di hulu, industri TPT masih dikenakan harga jauh lebih mahal dibandingkan negara seperti Korea maupun Vietnam. "Akhirnya ini seperti snow ball (bola salju) yang semakin lama nilainya semakin membesar. Ini membuat produsen kain lebih banyak memanfaatkan kain impor yang nilainya lebih murah daripada memakai serat atau benang hasil industri dalam negeri," ujar Ade Sudrajat di kantor Kementerian Industri, Jakarta, Senin (29/8).

Padahal, lanjut Ade, energi gas saat ini menjadi tulang punggung industri hulu tekstil dalam memproses serat menjadi kain untuk diolah kembali menjadi produk tekstil. Bahkan strukur biaya gas atau energi mencapai 28 persen dalam membuat sebuah produk benang maupun kain.

Di sisi lain, keinginan penggunana generator listrik (genset) juga justru mengalami kendala karena pemakaian ini ternyata harus menggunakan izin dari Kementerian energi dan sumber daya‎ mineral (ESDM). Padahal pembelian genset ini dilakukan karena banyak industri TPT yang sering kali kekurangan pasokan listrik dari PLN.

"‎Kita beli genset karena PLN ga bisa kasih jaminan listrik bisa terus menyala. Kita ga mungkin beli genset kalau PLN bisa Jamin pasokan listriknya. Ini salah satu juga keresana yang terjadi pada pengusaha tekstil,"paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement