REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) memprediksi bahwa produksi biji kakao di dalam negeri pada 2016 akan mengalami penurunan kurang lebih 10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang kurang lebih sebanyak 400 ribu ton.
"Tahun lalu itu hanya 400 ribu ton, dan prediksi saya tahun ini akan kembali mengalami penurunan. Tahun lalu ada pengaruh El Nino, sementara tahun ini banyak hujan, mungkin penurunan sekitar 10 persen dari 2015," kata Direktur Eksekutif AIKI, Sindra Wijaya, di Jakarta, Kamis (25/8).
Sindra mengatakan, jumlah produksi yang terus menurun itu akan merugikan sektor industri pengolahan biji kakao dalam negeri, dimana saat ini kapasitas produksi terpasang mencapai 800 ribu ton, sementara hanya dipergunakan maksimal 50 persen dari kemampuannya. Menurut Sindra, pihaknya berharap besar dari pemerintah yang memiliki Program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao dengan alokasi anggaran mencapai Rp 1 triliun per tahun untuk meningkatkan produksi komoditas itu di dalam negeri demi memenuhi kebutuhan industri. "Namun, 2016 ini, anggaran tersebut dipotong menjadi Rp235 miliar. Ini yang kami khawatirkan, satu sisi produksi mengalami penurunan, sementara anggaran untuk peningkatan produksi juga dipangkas," kata Sindra.
Selain itu, kata Sindra, ada hambatan untuk melakukan importasi biji kakao yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 04/Permentan/PP.340/2/2015 Tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan. Sindra menjelaskan, dengan adanya aturan tersebut, pemeriksaan laboratorium dilakukan di negara asal termasuk untuk biji kakao. Namun, impor biji kakao tersebut mayoritas berasal dari Pantai Gading dan Ghana, yang tidak mampu memenuhi persyaratan teknis tersebut karena tidak memiliki laboratorium yang memadai. "Untuk pangan segar berupa buah-buahan dan sayur, itu cocok diterapkan aturan seperti itu. Karena buah dan sayuran, langsung dikonsumsi olah masyarakat sehingga harus diawasi secara ketat jangan sampai tercemar kimiawi atau mikrobiologi," kata Sindra.
Akan tetapi, kata Sindra, hal tersebut sangat berbeda dengan biji kakao yang merupakan bahan baku industri. Dalam pemrosesan di dalam negeri, biji kakao tersebut harus melalui proses panjang dan steril sehingga tidak perlu diperlakukan sama seperti buah dan sayur yang langsung ditujukan untuk para konsumen. "Setelah kami desak, akhirnya Kementerian Pertanian mulai melonggarkan. Informasi yang diterima, sudah ada revisi hanya tinggal menunggu paraf dari Menteri Pertanian," kata Sindra.
Tercatat, impor biji kakao yang dipergunakan sebagai bahan baku industri pada 2014 sebanyak 109 ribu ton. Angka tersebut mengalami penurunan pada 2015 menjadi 53 ribu ton, dan pada 2016 hingga bulan Juni, importasi baru tercatat sebanyak 18 ribu ton. Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pasar ekspor produk kakao berupa cocoa butter antara lain Amerika Serikat dan Eropa, sementara untuk cocoa powder atau bubuk cokelat untuk pasar Asia Pasifik seperti Malaysia, Thailand, Cina, India, dan Jepang.