REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 menjadi 4,9-5,3 persen. Sebelumnya, BI memperkirakan ekonomi pada tahun ini akan tumbuh pada kisaran 5,0-5,4 persen.
Revisi ini merupakan yang ketiga kalinya, setelah awalnya bank sentral memproyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4-5,6 persen. Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, salah satu faktor utama di balik proyeksi ini adalah ketatnya kebijakan fiskal yang ditandai dengan pemangkasan belanja pemerintah pusat.
Langkah ini berpotensi menghambat investasi publik dari pencairan anggaran pemerintah. "Selain itu, saya pikir BI juga melihat bahwa investasi sektor swasta belum akan cukup signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun siklus bisnis menunjukkan beberapa sektor ekonomi menunjukkan tanda-tanda pemulihan," ujar Josua kepada Republika di Jakarta, Ahad (21/8).
Josua juga menilai dampak pengampunan pajak, khususnya dari repatriasi aset, belum akan terlihat pada tahun ini. Sehingga investasi secara keseluruhan, terutama investasi pada sektor riil yang memiliki daya dongkrak lebih besar pada pertumbuhan ekonomi, juga belum akan signifikan.
Dari sisi spasial, ekonomi indonesia masih akan didominasi oleh perekonomian pulau jawa yang menjadi pusat industri manufaktur.
Sementara pulau Sumatra dan Kalimantan yang masih mengandalkan komoditas alam seperti gas alam, minyak bumi, CPO, dan batubara diperkirakan masih akan cenderung stagnan seiring dengan belum ada sinyal peningkatan harga komoditas global.
"Namun demikian, ekonomi yang mengandalkan pariwisata seperti Bali dan Nusa Tenggara diperkirakan masih akan tumbuh dengan pace yang cukup tinggi, diikuti dengan ekonomi Kawasan Indonesia Timur (Sulawesi)," kata Josua.
Sebelumnya pada konferensi pers selepas Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), Jumat (19/8) malam, Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan ada tiga faktor utama yang membuat BI tidak optimis. Pertama, indikasi penyesuaian fiskal oleh pemerintah, yaitu pemangkasan anggaran hingga Rp 133 triliun.
"Dalam konteks ini BI memandang itu sesuatu yang diperlukan untuk memperbaiki atau mendukung kinerja pertumbuhan ekonomi," ujar Perry. Faktor kedua, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang juga menurun pascakeluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi AS tidak sekuat perkiraan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Cina yang cenderung tidak akan tinggi.
"Kami lihat ada proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di 2016 sebesar 3,1 persen, dan di 2017 sebesar 3,2 persen. Yang sebelumnya diperkirakan pada 2017 sebesar 3,3-3,4 persen. Faktor kedua ini juga mendorong kenapa BI turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Perry menjelaskan. Faktor ketiga, permintaan domestik khususnya untuk investasi swasta masih memerlukan waktu untuk perbaikan.
Menurut Perry, BI melihat sudah ada tanda-tanda indikasi permintaan investasi swasta naik, sebagai dampak stimulasi fiskal yang dilakukan pemerintah ataupun relaksasi makroprudensial oleh BI. "Tapi indikator selama ini ternyata tidak sekuat yang kami perkirakan. Dalam konteks ekspektasi bisnisnya yang belum kuat," ujarnya.
Deputi Gubernur BI, Hendar menambahkan, dari sisi regional pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2016 terutama hanya terjadi di Jawa dan Sumatra. Sementara wilayah-wilayah lain, belum menunjukan pertumbuhan ekonomi yang kuat, sekuat dua wilayah tersebut.
"Bahkan Kalimantan dengan masih rendahnya harga komoditas terutama batubara mengalami pertumbuhan negatif 1,3 persen. Papua juga bergantung pada produksi natural resources, negatif 5,9 persen. Ke depan kami proyeksikan tidak seoptimis perkiraan sebelumnya," kata Hendar.
BI mencatat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2016 mencapai 5,18 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,91 persen (yoy). Sementara pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan IV diperkirakan berada di angka 5,0 persen.
Dengan adanya revisi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit pun direvisi menjadi 7,0-9,0 persen di akhir tahun nanti dari sebelumnya sebesar 10-11 persen. Berdasarkan data bank sentral, pertumbuhan kredit Indonesia masih tercatat relatif rendah, bahkan berada di bawah 3 persen (year to date).
Kendati begitu, Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengatakan pihaknya memprediksi sektor swasta mulai pulih, sehingga investasi swasta akan membaik di semester II 2016. "Kami juga mendorong peningkatan kebijakan makroprudensial yang melonggarkan Loan to Value (LTV)," kata Agus.
Penggunaan suku bunga acuan baru BI 7-Day (Reverse) Repo Rate juga diharapkan mampu mendorong peningkatan realisasi penyaluran kredit hingga akhir tahun. Suku bunga acuan baru itu mulai berlaku pada 19 Agustus lalu.