REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Muharam menilai RAPBN 2017 yang diajukan Pemerintah masih terlalu ambisius dan kurang realistis.
"Kita melihat target pertumbuhan 5,3 persen masih terlalu ambisius melihat pencapaian dan prognosa ekonomi 2016 serta tantangan ekonomi 2017. Ekonomi global masih menunjukkan perlambatan, sedangkan daya serap dan daya pacu ekonomi domestik masih belum optimal," ujarnya, Rabu (17/8).
Ecky memaparkan, beberapa risiko dari ekonomi global seperti perlambatan ekonomi Cina, pengaruh Brexit lewat jalur pelemahan ekonomi Cina, ketidakpastian ekonomi Amerika Serikat, rendahnya harga komoditas, serta suku bunga negatif pada beberapa negara maju.
"Memang, dependensi langsung ekonomi Indonesia terhadap Inggris tidak begitu kuat, namun akan bermasalah saat pengaruh dikalkulasi dengan dampak lanjutan ke Cina. Harga komoditas global juga belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. Hal ini pada gilirannya memengaruhi ekonomi daerah yang berbasis sumber daya alam. Padahal kontribusi daerah-daerah tersebut sangat signifikan terhadap ekonomi nasional," ujarnya.
Selanjutnya, menurutnya, aliran investasi langsung juga belum terakselerasi dengan baik karena berbagai kendala. Sementara itu, realisasi anggaran pemerintah masih akan seperti tahun-tahun sebelumnya, karena masih miskin terobosan.
"Artinya, mesin pertumbuhan masih tetap sama yaitu belanja rumah tangga. Dan belum terlihat kebijakan yang komprehensif dari pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli rumah tangga, sehingga dapat memacu demand side secara signfikan," ujarnya.
Ecky menambahkan, pencapaian pertumbuhan semester I 2016 yang baru menyentuh 5,04 persen menjadi warning tidak tercapainya target pertumbuhan 5,2 persen yang ditetapkan untuk 2016. Hal tersebut akan berdampak pada target pertumbuhan selanjutnya pada 2017.
"Kami melihat target pertumbuhan harus lebih moderat agar tidak menjadi bumerang bagi pemerintah. Revisi ke bawah bukan hanya memengaruhi anggaran serta pencapain target, tetapi juga kredibilitas pemerintah," ungkapnya.
Ecky menilai, target penerimaan perpajakan juga dapat dikatakan masih terlalu optimis, sehingga risiko shortfall akan besar.
"Kita harus bercermin dari situasi perpajakan 2015 dan 2016. Belum ada yang menggembirakan, meskipun pemerintah telah menggulirkan tax amnesty sebagai senjata andalan. Jika dapat dikatakan, situasi 2017 juga kurang lebih masih akan sama. Bahkan pemerintah berencana menurunkan PPh Badan," terangnya.
Ecky menegaskan, tidak tercapainya target penerimaan perpajakan pada 2015, yang hanya mampu mencapai sebesar 83,2 persen atau setara dengan Rp 1.240 triliun dari target APBN-P 2015 harus menjadi pelajaran berharga. Realisasi tersebut lebih rendah dari pencapaian penerimaan perpajakan 2014 yang mencapai 92,04, dan 2013 yang mencapai 93,81 persen serta 2012 yang mencapai 94,4 persen.
"Hal ini harus menjadi pelajaran berharga, dalam penetapan target 2017 tersebut. Optimalisasi penerimaan perpajakan masih membutuhkan langkah-langkah terobosan yang kuat," ujarnya.
Target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2017 yang diajukan Pemerintah hingga mencapai Rp 1.495 triliun sedikit menurun dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539 triliun. Ecky memandang target penerimaan perpajakan harus ditetapkan lebih kredibel karena akan berpengaruh signifikan terhadap komponen-komponen lain dalam APBN, terutama realisasi defisit dan utang, serta beban biaya bunga utang yang akan ditanggung kedepan.