REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meluncurkan indeks persaingan usaha. Berdasarkan pemetaan KPPU, indeks persaingan usaha di Indonesia masih berada di bawah level 0,5. Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, indeks persaingan usaha ini menggunakan skala 0-1.
"Kita masih di bawah 0,5 yang artinya masih relatif rendah. Masih kalah dengan banyak negara tetangga yang sudah berada di level 0,6," kata Syarkawi dalam keterangan pers, Selasa (9/8).
Syarkawi menjelaskan, semakin tinggi indeks maka menunjukkan semakin baiknya iklim persaingan usaha di suatu negara. Ada tiga sektor yang disurvei KPPU dalam indeks ini yakni sektor manufaktur, perbankan dan regulasi.
Di sektor manufaktur, kata dia, iklim persaingan masih kurang sehat karena pemainnya itu-itu saja. Selain itu, model bisnis manufaktur di Indonesia rata-rata menerapkan model terintegrasi dari hulu ke hilir. Dengan model terintegarasi itu, maka ada semacam dominasi pasar oleh para pemain besar.
Syarkawi menjelaskan, kondisi ini berbeda dengan yang ada di luar negeri seperti Jepang. Di Jepang, para perusahaan manufaktur menjalin kemitraan dengan para produsen kecil untuk mensuplai komponen-komponen mesin. "Model integrasi bisnis dari hulu ke hilir ini tidak bagus," ujar dia.
Syarkawi menambahkan, persaingan di sektor perbankan juga tidak jauh berbeda. Dia mencontohkan, saat ini ada beberapa bank yang menguasai 30-40 persen aset perbankan secara nasional.
Sedangkan dari sisi regulasi, KPPU menyebut masih banyak regulasi yang menghambat adanya persaingan. Salah satu contohnya terjadi pada proses lelang proyek di pemerintah daerah seperti proyek perbaikan jalan.
Dia mengatakan, tidak sedikit pemerintah daerah yang mewajibkan kontraktor untuk memiliki asphalt mixing plant atau alat pencampur aspal jika mau mengikuti tender. Masalahnya, kata dia, alat tersebut biasanya hanya dimiliki oleh kontraktor besar.
"Sehingga, yang dapat proyek ya kelompok yang itu-itu saja," kata Syarkawi.