REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran pemerintah mengalami defisit cukup besar pada Semester I 2016. Dari asumsi APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 296,5 triliun, angka defisitnya telah mencapai 230,7 triliun atau 1,83 persen dari Produk Domestik Bruto.
Meski pada Semester II ini defisit disebut bisa ditekan dengan penerimaan pajak serta tebusan tax amnesty, pemerintah diharap bisa menjaga defisit ini tidak lebih dari tiga persen sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, batas maksimal defisit tiga persen memang perlu dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kualitas anggaran yang digunakan dan jumlah utang kita kepada pihak ketiga.
"Kalau dibuat tiga persen, kan orang akan dipaksa membuat kualitas anggaran, jadi mereka berimprovisasi. Jadi anggaran tidak perlu digunakan ke yang tidak bagus, karena defisit kita harus tiga persen, tidak lebih. Ini menyelamatkan kita dari kepecayaan investor," kata Chatib dalam sebuah diskusi, Kamis (28/7).
Perbaikan desifit ini, ungkap Chatib, terlihat dari negara India yang awalnya memiliki defisit anggaran di angka enam persen dan turun menjadi tiga persen, membuat pemerintahannya bisa bertahan dan melakukan segala upaya untuk perbaikan negeri dengan fiskal yang ada. Menurutnya, negara yang memiliki defisit anggaran besar seperti Turki dan Yunani sekarang justru mengalami persoalan dengan nominal defisit yang terlalu membengkak.
"Sepengetahuan saya dulu, yang buat orang yakin sama Indonesia itu defisit anggaran kita nggak akan lebih dari tiga persen. Jadi kita nggak akan punya problem dengan utang. Kan kalau defisit besar dibiayai utang, kalau utang besar itu kan risiko makin besar," paparnya.