REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, ruang pelonggaran kebijakan moneter selanjutnya di sisa tahun 2016 masih sangat terbuka. Meski banyak gejolak di perekonomian global yang dipicu oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, dibandingkan dengan Uni Eropa, pasar keuangan Indonesia lebih dipengaruhi oleh tekanan eksternal yang datang dari potensi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan juga pemulihan perekonomian Cina.
"Pasar keuangan Indonesia itu ketergantungannya lebih besar terhadap kebijakan The Fed dan perekonomian Cina, dibandingkan kebijakan di Inggris," kata Mirza di Gedung BI, Selasa (28/6) malam.
Namun, untuk kebijakan pelonggaran moneter berikutnya, bank sentral juga akan mempertimbangkan dampak jangka menengah dan jangka panjang dari Brexit, terutama jika berpotensi menganggu stabilitas perekonomian.
"Apa yang terjadi di Inggris itu bukan berarti akan terjadi jelek dengan negara berkembang seperti Indonesia. Karena relationshipnya kecil, perdagangan Indonesia dengan Inggris jumlahnya kecil, baik investasi maupun perdagangan ekspor impor. Tapi kita memang harus pantau terus,"tuturnya.
Mirza mencontohkan, saat pengumuman hasil referendum di Inggris pada Jumat (24/6) lalu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan juga pasar saham domestik relatif kecil dan hanya sementara. Berbeda dengan tekanan yang timbul dari kebijakan The Fed pada April 2016 lalu.
Rupiah sempat tertekan setelah rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC), karena ekspektasi pelaku pasar bahwa kenaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) akan terjadi Juni 2016. Namun, The Fed ternyata tidak menaikkan FFR pada bulan Juni, dan mengurangi tekanan terhadap rupiah.
Sehingga BI akhirnya melakukan pelonggaran moneter dengan kembali menurunkan suku bunga acuan BI rate untuk keempat kalinya di tahun ini. Tercatat hingga Juni 2016, BI sudah menurunkan BI rate menjadi 6,5 persen dari 7,5 persen. Selain itu, baru-baru ini BI juga melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial.
Menurut Mirza, peluang pelonggaran kebijakan moneter berikutnya oleh BI akan tetap terbuka. Apalagi Gubernur The Fed, Jannet Yellen sudah menyatakan bahwa akan sangat berhati-hati terhadap dampak Brexit. Pernyataan Yellen itu memberikan sinyal bahwa The Fed tidak akan menaikkan FFR dalam waktu dekat.