REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty akhirnya disahkan oleh DPR. Pengesahan ini sah setelah sembilan Fraksi, kecuali Fraksi PKS‎ menyetujui adanya Tax Amensty.

Keputusan adanya Tax Amensty sebenarnya masih dipertanyakan sejumlah kalangan termasuk segelintir anggota DPR. Sebab pada 2018, banyak negara di seluruh dunia akan mengikuti Automatic Exchange of Information (AEOI) atau keterbukaan informasi.‎ Dengan AEOI maka data para pengemplang pajak di negara-negara yang selama ini menjadi 'rumah' mereka pun bisa diakses.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, pihaknya memang mengindikasi terdapat sekitar Rp 11.500 triliun dana milik orang Indonesia yang tersimpang di luar negeri. Saat AEOI pada 2018 dilaksanakan, kemungkinan dana yang bisa ditarik masuk ke Indonesia mencapai Rp 3.500. Dana ini didapat setelah semua pengemplang pajak harus membayar denda pelanggaran sebesar 30 persen dari aset yang belum dilaporkan.

"Ya itu kan potensi. Tapi itu 2018 belum tentu uangnya masih milik orang Indonesia," kata Bambang, Selasa (28/6).

Menurut Bambang, dana ini bisa saja menjadi milik negara lain karena saat ini terdapat sejumlah negara yang menawarkan anak-anak konglomerat untuk pindah kewarganegaraan. Hal ini dilakukan supaya aset yang dimiliki juga bisa pindah ke negara yang mengizinkan pindah warga negara.

"Kalau banyak yang melakukan itu (pindah kewarganegaraan) kita bisa kehilangan kesempatan," papar Bambang.

Selain itu, dalam AEOI tidak ada sistem pengembalian aset ke dalam negeri (repatriasi). Skema ini hanya akan mendeklrasikan saja aset yang dimiliki wajib pajak, tanpa membawa masuk dana tersebut. Padahal saat ini pemerintah sangat membutuhkan dana segar seperti melalui Tax Amnesty untuk menunjang pertumbuhan perekonomian.

Ikuti Whatsapp Channel Republika