REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan impor perikanan saat ini tidaklah meluas dan realisasi izin impor yang dikeluarkan hanya sekitar 15 persen dari yang diminta oleh pihak importir.
"Antara permohonan dan izin yang terealisasi, realisasi hanya 15 persen dari izin yang diberikan," kata Susi Pudjiastuti dalam acara Chief Editor Meeting di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Jumat (24/6).
Menurut Susi, impor ikan Indonesia pada tahun ini hanya baru dikeluarkan izinnya sekitar dua bulan lalu, itu pun hanya dilakukan dengan waktu tertentu dan jumlah tertentu serta dalam periode waktu tertentu.
Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa impor bukanlah barang baru karena setiap tahun Indonesia selalu melakukan impor ikan. Dalam sejumlah kesempatan lainnya, Susi juga mengungkapkan bahwa angka impor ikan di Indonesia sudah jauh menurun sejak 2011. Demikian pula dengan impor fish meal (pakan ikan) yang jauh menurun karena perikanan budi daya Indonesia dinilai makin mandiri.
"Sekarang ini selain impor menurun, impor fish meal kita menurun jauh. Berarti budi daya kita sudah mengurangi ketergantungannya pada impor," ungkapnya.
Ia mengungkapkan ke depannya bakal ada persyaratan impor yang lebih ketat, yaitu harus ada catch certificate dari negara asal serta tidak boleh mengimpor dengan menggunakan kapal tramper.
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR RI Akmal Pasluddin mengatakan pemerintah perlu memaksimalkan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) guna mengatasi impor ikan yang dilakukan guna mengatasi kekurangan bahan baku yang dibutuhkan industri pengolahan ikan di berbagai daerah. "Pemerintah harus memaksimalkan konsep SLIN yang telah diluncurkan pada tahun 2014. Ikan makarel yang diimpor itu masih wajar. Namun, untuk tongkol, cakalang, dan baby tuna jika masih diimpor juga menjadi suatu yang lucu dan tidak masuk akal," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, ikan seperti tongkol, cakalang, dan tuna sebenarnya banyak terdapat dan biasa diperoleh di kawasan perairan Indonesia. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai kebijakan impor ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan ini adalah tindakan yang salah kaprah karena dapat menumbuhkan luka yang sangat mendalam bagi nelayan kecil yang selama ini telah bersusah payah mencari ikan. "Kebijakan importasi ikan ini salah kaprah. Janggal di mana-mana. Sektor perikanan yang seharusnya sebagai penyangga kebutuhan pangan pertanian, malah ikut latah untuk ikut-ikutan impor," ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kejanggalan kebijakan importasi ikan ini tampak pada rujukan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2014 yang menyebutkan bahwa total produksi perikanan tangkap di laut menunjukkan tren yang meningkat. Data tersebut menyebutkan pada tahun 2009, tangkapan ikan hanya 4.812.235 ton. Akan tetapi, melonjak drastis pada 2014 menjadi 5.779.990 ton. "Pemerintah membuat dalih bahwa selama ini hasil tangkapan nelayan tidak memenuhi syarat industri. Padahal, produksi ikan nelayan Indonesia sangat tinggi, misalnya, jenis ikan makarel, tuna, tongkol, dan cakalang, juga dengan kualitas yang sangat baik, terutama hasil tangkapan nelayan di Indonesia Timur," tuturnya.