Rabu 22 Jun 2016 11:11 WIB

Daya Beli Masyarakat Terancam Terus Anjlok

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Daya beli masyarakat, ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Daya beli masyarakat, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelemahan perekonomian dunia telah menyebabkan harga komoditas anjlok. Kondisi tersebut dinilai mendorong pelemahan daya beli masyarakat yang harus diwaspadai tahun ini.

Pengamat Ekonomi Firmanzah mengatakan pelemahan ekonomi dunia bukan hanya dirasakan sejak 2016, namun sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya.

"Sejak 2011-2014 ini pertumbuhan perusahaan mulai flat dan banyak perusahaan mulai rugi karena pertumbuhan harga komoditas," ujarnya di Jakarta, Selasa (21/6).

Rektor Paramadina ini menjelaskan, dengan menurunnya harga sejumlah komoditas dunia akan memberikan dampak yang sangat luas. Salah satunya adalah menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan ini dikarenakan masyarakat mulai melihat bahwa perekonomian yang belum membaik membuat mereka harus banyak melakukan penghematan.

‎Firmanzah menjelaskan, fase melemahnya daya beli masyarakat ini akan terasa pada semester dua 2016 yang terjadi bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. ‎ Namun, Indonesia mungkin harus menjadi negara yang mewanti-wanti hal ini. Persoalannya produk domestik bruto (PDB) Indonesia lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi masyarakat.

"Kalau dilihat dari data BPS (Badan Pusat Statistik), PDB ini dibentuk 54-56 persen dari konsumsi domestik. Belanja negara 9-10 persen, investasi 32 persen dan sisnya ini net ekspor yang bisa positif atau defisit," ujar Firmanzah.

Menurut dia, kalau pemerintah tidak bisa membuat daya beli masyarakat anjlok, maka dampaknya akan sangat besar. Dunia usaha jelas tidak mau berekspansi karena produk yang dihasilkan sulit terjual. Kalau ini terjadi akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang tidak bertambah, pengangguran naik, dan kemiskinan meningkat.

‎Namun pelemahan daya beli di Indonesia, kata dia, sudah mulai terjadi pada awal tahun bukan semester II 2016. Ini terlihat dari pertumbuhan kredit yang diharapkan bisa tinggi justru masih stagnan.

"Sekarang banyak kredit yang sudah dapat tapi tidak dicairkan. Mereka menunggu, wait and see kondisi perekonomian," ujarnya.

‎Deflasi yang didapatkan pemerintah dalam beberapa bulan terakhir juga harus dilihat secara betul, apakah ini karena penurunan harga barang atau menurunnya permintaan masyarakat. Sebab di Jepang dan sejumlah negara Eropa, deflasi ada karena sisi permintaan yang turun.

Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah, kata dia, yakni menjaga‎ defisit anggaran tak mendekati tiga persen. Selain itu pemerintah juga harus menjaga nilai utang 27 persen dari PDB.

"Tapi dari data yang dapat sekarang nilai utang kita justru meningkat 50 persen dibandingkan 2014, dari Rp 253 triiun sekarang sudah ada di angka Rp 382,3 triliun," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement