REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelaku pasar modern dan tradisional sepakat, salah satu faktor terbesar penyebab biaya tinggi pangan disebabkan sistem penyimpanannya yang masih tradisional. Hasilnya, banyak barang pangan dijual dalam bentuk segar, tapi memiliki potensi kerugian dan penurunan kualitas yang drastis jika sehari tidak habis dijual.
"Kalau semua orang saat ini maunya makan fresh, ya risikonya mahal, karena risiko rugi langsung jadi harus bayar double," kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, Rabu (15/6). Tapi jika masyarakat dan pedagang terbiasa membeli dan penyediakan produk kering, beku ataupun olahan, harga pangan akan bisa terkendali tanpa perlu melonjak tinggi.
Ketika harga daging ayam dan sapi di pasar tradisional tinggi, kata dia, harga di pasar ritel justru stabil. Ayam beku di ritel per hari ini dijual dengan harga Rp 29 ribu per kilogram, sedangkan daging sapi beku dibandrol Rp 90 ribu dan daging segar Rp 100 ribu.
Menurutnya, kondisi tersebut dapat tercapai sebab sistem penyimpanan pangan sudah lebih apik dan risiko kerugian akibat kerusakan kualitas pangan tercegah. Bahkan, tingkat higienitasnya lebih unggul karena daging yang disimpan beku akan mematikan bakteri-bakteri di dalam daging.
Makanya, ia merasa heran dengan masalah lonjakan pangan yang konsisten hadir setahun sekali, tapi hanya diselesaikan dengan cara yang tidak mendidik yakni dengan Operasi Pasar (OP). Hasilnya, lonjakan harga selalu berulang.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membetulkan sistem pemasaran di pasar, menyediakan tempat penyimpanan daging beku, juga membuat tata niaga di pasar higienis dan menekan tingkat pungutan liar. "Bukan hanya menuding mafia, tapi membuat pasar tradisional dan modern memiliki sistem penyimpanan pangan yang baik," ujarnya.
Jika segala praktik perdagangan telah didesain cerdas berbasiskan teknologi, ia optimis mafia pangan bisa diberantas.