REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya Sarman Simanjorang menyebut, gejolak harga daging sapi sudah terasa sejak pertengahan Januari 2016. Berdasarkan pengamatannya, harga daging tinggi selalu terjadi setiap tahun, tapi kali ini lebih parah dan kentara anomalinya.
"Padahal kita sudah melewati hari besar keagamaan Natal dan Tahun Baru dan tidak ada kenaikan konsumsi dan permintaan," kata dia, Rabu (8/6). Harapan Pemerintah agar harga daging sapi di bawah Rp 100 ribu per kilogram menjelang bulan ramadhan tahun ini ternyata tidak sesuai kenyataan.
Padahal, instruksi Presiden yang menginginkan harga daging sapi Rp 80 ribu per kilogram tersebut sudah disampaikan akhir April lalu. Tapi sampai hari ketiga Ramadhan harga daging sapi masih stabil tinggi di kisaran Rp 110-130 ribu per kilogram.
Kementerian Pertanian dan Perdagangan, lanjut dia, seharusnya melakukan evaluasi secara komprehensif. Ia menekankan, gejolak harga daging sapi selama ini disebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan. Selama Pemerintah mampu menjaga keseimbangan demand dan supply maka sangat tidak mungkin terjadi gejolak.
Jika dirunut lebih jauh, gejolak harga daging sapi menurutnya mulai terjadi pada 2011. "Kala itu pemerintah mengambil kebijakan mengurangi kuota impor hampir 60 persen dengan asumsi bahwa daging lokal akan mampu mensupply kebutuhan pasar," tuturnya.
Kebijakan tersebut diambil berdasarkan sensus sapi yang dilaksanakan BPS bahwa populasi sapi Indonesia mencapai 14.8 juta ekor. Dengan dasar angka tersebut Indonesia sudah layak swasembada daging. Namun yang terjadi sebaliknya bahwa setiap tahun terjadi gejolak harga daging sapi apalagi menjelang bulan ramadhan dan Idul Fitri.