REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kajian Pangan dan Ekonomi Kerakyatan Nawacita Watch Tenri Ajeng menyebut, Perum Bulog gagal menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang pangan nasional. Tanda kegagalan salah satunya tampak dari kebijakan impor pangan oleh pemerintah.
"Bulog hanya terlihat sebagai lembaga yang dominan menjalankan fungsi komersial yakni pencari keuntungan atau pemburu rente," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (7/6). Ia menyebut, Bulog mempunyai jaring laba-laba distribusi sehingga pasokan tidak langsung sampai ke pasar. Hal tersebutlah yang menyebabkan stok dimainkan sehingga harga pangan tinggi.
Bulog sebagai operator, kata dia, juga akan mendiskreditkan petani yang merupakan ujung tombak pengadaan pangan. Bulog menurutnya lebih merasionalisasi kepentingan pelaku usaha pencari keuntungan.
Pemerintah melalui Perum Bulog akan melakukan impor pangan pokok berupa beras dan bawang merah. Harga beras saat ini sedang mengalami kenaikan mencapai Rp 12.500 per kg sedangkan bawang merah Rp 41 ribu per kg. Dengan impor, pemerintah menginginkan harga untuk beras yaitu Rp 9.500 per kg dan bawang merah Rp 25 ribu per kg.
Untuk mencapainya, bawang merah akan diimpor 2.500-5.000 ton. Bulog juga sudah mengimpor beras per Februari 2016 sebanyak 900 ribu ton dan total hingga Oktober sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand.
Seharusnya, kata dia, Bulog dengan segala persiapan infrastruktur sudah siap menampung surplus dan mendistribusikan stok bawang yang ada di gudang sebanyak 1,2 juta ton. "Juga harus siap menyetok beras dua juta ton sehingga petani tidak merugi dan konsumen tidak terbebani biaya pangan yang mahal," ujarnya.
Tenri lantas mengusulkan agar Bulog menginventarisasi problematika yang ada pada mata rantai produksi-sirkulasi-konsumsi. Ketiga mata rantai tersebut tidak boleh disikapi secara parsial, sehingga Bulog mampu membuatkan skema pengadaan stok dan stabilisasi harga ketika terjadi kelangkaan dan surplus pangan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, stok beras dan bawang merah selama bulan Ramadhan hingga Lebaran melebihi kebutuhan. Stok beras tersebut mencapai 7.417.487 ton sedangkan kebutuhan hanya 5.626.400 ton, sehingga diperoleh surplusnya sebesar 1.791.087 ton. Untuk bawang merah, stoknya 251.513 ton dan kebutuhan hanya 175.642 ton sehingga surplusnya mencapai 75.871 ton.
Ketua Umum Kontak TNA Nasional, Winarno Tohir mengungkapkan tingginya harga pangan akibat tingginya biaya distribusi yang mencapai 21 persen. "Sistem distribusi belum efisien," ujarnya. Dampaknya, capaian produksi yang melimpah gagal distribusi dan karut marut stok dan harga pada setiap tradisi Ramadhan berulang.
Terkait kebijakan impor, ia meminta agar pemerintah melakukannya di keadaan terpaksa saja. Sebab petani menginginkan harga stabil. Petani juga perlu mendapat jaminan harga.