REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Serikat Pedagang Pasar Indonesia (SPPI) Burhan Saidi heran dengan upaya pengendalian harga pangan oleh pemerintah yang belum kunjung sukses. Padahal, pemerintah memiliki para ekonom cerdas yang seharusnya mengaplikasikan teori-teori ekonominya untuk menurunkan harga pangan.
"Kita sudah memberikan sejumlah saran, tapi pemerintah katanya punya cara sendiri," kata Burhan, Senin (6/6). Seharusnya suara-suara dan saran dari tingkat pelaku pasar menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk mengefektifkan agenda pengendalian pangan.
Sebelumnya, ia menyebut Operasi Pasar (OP) yang dilakukan pemerintah selama ini salah kaprah. Sebab, dalam pelaksaannya tak menggandeng pelaku pasar yang sehari-hari berdagang, melainkan menjadi ajang cari untung para cukong yang berada di lingkaran pemerintah dan Perum Bulog.
OP dinilainya hanya lipstik yang hanya menguntungkan orang yang punya uang besar. OP dan proses perdagangan di pasar berjalan sendiri-sendiri. Jika OP ingin berhasil, lanjut dia, pemerintah harus menggunakan aturan main pasar yang sudah jelas, yakni memenuhi pasokan pasar secara rill, bukan mengaku-aku.
OP juga seharusnya bekerja sama dengan para pelaku pasar yang sebenarnya. Skema kerja samanya pun harus dibarengi pembiayaan yang kendur. "Jadi kalau katanya pemerintah gandeng pedagang, itu sebenarnya tidak ada," katanya.
Pengamat Peternakan dari Universitas Padjajaran Rochadi Tawaf menekankan soal kevalidan data sebelum menetapkan suatu kebijakan pengendalian pangan. "Kalau saya berprinsip pada teori supply-demand saja, kalau pasokan rendah, permintaan tinggi, harga juga pasti tinggi, begitu pun sebaliknya," kata dia kepada Republika.co.id.
Ketika pemerintah menginginkan harga daging murah, harus terpapar secara jelas terlebih dahulu, berapa kebutuhan, pasokan, dan permintaannya. Data tersebut hingga kini masih bertebaran dalam beragam versi dan syarat kepentingan.
Faktanya, pemenuhan kebutuhan daging hingga kini tidak bisa mengandalkan pasokan lokal. Pemerintah mengandalkan impor daging sebanyak 10 ribu ton yang hingga kini belum terealisasi.
Daging-daging beku tersebut, menurut Rochadi, tetap tidak bisa mensubstitusi pasokan karena tren permintaan masyarakat lebih menyukai daging segar. "Daging beku tidak familiar dengan kebutuhan Ramadhan," tuturnya.