Senin 06 Jun 2016 15:47 WIB

Temuan BPK Sebut Solar Bersubsidi Dijual Terlalu Mahal

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Nur Aini
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan enam permasalahan dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015. Permasalahan tersebut mulai dari penyertaan modal negara (PMN) hingga subsidi solar.

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, enam permasalahan yang timbul merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dia mengungkapkan, permasalahan pertama yang ditemukan adalah laporan keuangan PT PLN (Persero). Menurut dia, PLN mengubah kebijakan akuntansinya yang sebelumnya menggunakan ISAK 8 menjadi tidak menerapkan ISAK 8. "Dampak penerapan kebijakan ini dapat menimbulkan perbedaan nilai PMN pada PT PLN (Persero) per 31 Desember 2015 unaudited yang disajikan sebesar Rp 43,44 triliun," kata Harry saat menyampaikan LKPP 2015 kepada Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/6).

Permasalahan kedua adalah masalah solar bersubsidi. Harry menyebut, pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap. Penetapan tersebut membebani konsumen dan menguntungkan badan usaha sebesar Rp 3,19 triliun.

Ketiga, piutang bukan pajak pada Kejaksaan RI sebesar Rp 1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi dan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar Rp 33,94 miliar dan 206.87 juta dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp 101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Keempat, persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 triliun, belum dapat dijelaskan status penyerahannya.

Permasalahan kelima adalah masalah mengenai pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih (SAL) yang  tidak akurat. "Sehingga BPK tidak dapat meyakini kewajaran transaksi dan/atau saldo terkait SAL sebesar Rp 6,60 triliun," kata Harry.

Sedangkan, permasalahan terakhir mengenai koreksi langsung yang mengurangi ekuitas sebesar Rp 96,53 triliun dan transaksi antarentitas sebesar Rp 53,34 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement