REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menegaskan lebih berhati-hati dalam pelaksanaan mega proyek 35 ribu Mega Watt (MW), khususnya dalam melibatkan kontraktor asing sebagai independent power producers (IPP) pengerjaan proyek 35 ribu MW.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menjelaskan, berkaca pada pengalaman pemerintahan sebelumnya dalam menggarap Fast Track Program (FTP) I dan II di mana masing-masing sebesar 10 ribu MW, realisasi yang berhasil dicapai adab 10.200 MW.
Permasalahan yang muncul, lanjut Rizal, faktor kapasitas pembangkit yang kemudian hanya berjalan 70 sampai 80 persen saja. Alasannya, kinerja mesin oleh kontraktor EPC (engineering, procurement, construction) asal Cina yang terbukti tidak memuaskan. Pembangkit tidak bekerja secara optimal sehingga PLN yang harus menanggung biaya perawatan dan utang yang dihasilkan.
"Nah dalam kaitannya dengan Cina kita harus ekstra hati hati. Yang pertama pengalaman listrik yang dulu 10.200 kebanyakan Cina teknologinya dan kebanyakan hampir semuanya alami masalah maintainance," kata Rizal di sela diskusi kelistrikan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Selasa (31/5).
Ke depan, Rizal meminta agar PLN lebih selektif dalam menggandeng mitra dalam pembangunan proyek listrik 35 ribu MW. Ia juga menyebutkan bahwa selama ini pemerintah sudah belajar banyak dari kekurangan yang dialami oleh proyek FTP I dan II.
Ia mencontohkan, pengalaman dengan kontraktor EPC asal Cina beberapa kali menunjukan tidak sinkronnya spesifikasi mesin yang telah diteken di kontrak dengan apa yang dibangun oleh kontraktor. Kualitas yang lebih rendah dari seharusnya, menurut Rizal, membuat faktor kapasitas pembangkit lantas ikut melorot.
"Buat kita tidak sehat kalau seluruhnya Cina yang pegang. Oleh karenanya kualitas harus jadi faktor tidak hanya harga. Selama ini sitem tender kita hanya harga saja. Saya rasa harus ada adjustment dalam hal kualitas. Agar tidak taruh semua dalam satu keranjang," katanya.