REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Harga minyak melampaui 50 dolar AS per barel untuk pertama kalinya tahun ini pada Kamis (27/5), karena kelebihan pasokan global semakin menunjukkan tanda-tanda berkurang.
Namun aksi ambil untung mendorong harga minyak mentah kembali berakhir di bawah tingkat psikologis 50 dolar AS per barel.
Harga patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli berakhir turun delapan sen dari penutupan Rabu menjadi 49,48 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah berhasil menembus tingkat 50 dolar AS pada awal sesi. Di London, harga patokan Eropa, minyak Brent North Sea untuk pengiriman Juli juga sempat terdorong di atas ambang batas 50 dolar AS, namun kemudian turun 15 sen menjadi ditutup pada 49,59 dolar AS per barel.
Harga minyak berhasil menembus level 50 dolar AS menyusul penghentian produksi minyak di Kanada, Nigeria dan di tempat lain selama satu bulan terakhir, dan pengurangan tajam produksi AS. Tetapi itu hanya menandai pemulihan parsial di pasar, setelah harga runtuh dari di atas 100 dolar AS per barel pada pertengahan 2014.
Kontrak berjangka minyak mendekati tingkat 25 dolar AS per barel pada Februari, karena keputusan kebijakan oleh Arab Saudi dan kekuatan broker lainnya dalam OPEC menentang pengurangan produksi, mereka berusaha untuk mempertahankan pangsa pasar dengan harga berapapun. Mereka telah mempertahankan kelebihan pasokan dalam rangka memaksa keluar produsen-produsen yang lebih mahal, khususnya di Amerika Utara.
Beberapa analis skeptis harga minyak akan terus naik. Meskipun pekan lalu terjadi penurunan dalam stok minyak, persediaan minyak AS tetap berada di dekat level tertinggi dalam sejarah. Faktor-faktor bearish lainnya meliputi peningkatan produksi di Iran dan prospek permintaan yang tidak pasti di Cina serta pasar-pasar utama lainnya.
"Saya pikir orang merasa mungkin 50 dolar AS adalah jenis dari titik jual di mana orang-orang yang telah membuat keuntungan mereka akan keluar dari pasar," kata Mike Lynch dari Strategic Energy & Economic Research. Para analis juga mengingatkan bahwa pergerakan harga di atas 50 dolar AS per barel bisa memicu beberapa produsen minyak serpih atau shale oil di Amerika Serikat untuk melanjutkan kembali produksi mereka setelah menghentikan operasinya karena harga rendah.