REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam mengatakan, pengampunan pajak atau tax amnesty bukan untuk mengampuni kejahatan pidana seperti korupsi. RUU Pengampunan pajak dibuat untuk memberi memberikan kepastian hukum dan menciptakan keadilan bagi seluruh wajib pajak.
Ditegaskan Darussalam, seseorang yang mengikuti program pengampunan pajak, tidak serta merta dapat terbebas dari tuntutan hukum apabila melakukan korupsi. Sebab, pengampunan pajak tidak ada kaitannya dengan penghapusan pidana di luar pidana perpajakan.
"Tax amnesty hanya bicara penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi pajak dan penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan," kata Darussalam, Kamis (28/4).
Darussalam menjelaskan, dalam RUU Pengampunan Pajak pasal 2 disebutkan, setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak. Namun, ada pengecualian bagi wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, sedang dalam proses peradilan atau sedang menjalani hukuman pidana, atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Pengampunan pajak sudah saatnya diterapkan di Indonesia. Sebab, pengampunan pajak tepat diberlakukan apabila ketidakpatuhan di suatu negara cukup tinggi. Adapun, tingkat ketidakpatuhan wajib pajak di Indonesia termasuk tinggi.
"Apabila suatu negara tingkat kepatuhannya rendah maka tax amnesty sebagai suatu kebijakan sah untuk diterapkan karena ingin membawa wajib pajak yang selama ini tidak patuh untuk menjadi patuh," ujarnya.
Darussalam menambahkan, pengampunan pajak juga dapat menciptakan keadilan. Yakni, keadilan untuk sama-sama membayar pajak untuk membantu pembangunan negara. "Justru tidak adil kalau pajak hanya dipikul oleh segelintir wajib pajak yang patuh saja," paparnya.