REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai persoalan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty mulai diperdebatkan. Salah satunya adalah nilai tebusan dari tax amnesty yang dinilai terlalu rendah.
Dalam RUU tax amnesty, disebutkan bahwa tebusan dari pengemplang pajak berkisar mulai dari dua, empat hingga enam persen. Peningkatan bertahap disesuaikan dengan jangka waktu mengikuti tax amnesty per tiga bulan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, perubahan tarif ini memang belum ada kesepatakan. Artinya dalam pembahasan nanti bisa saja nilai tebusan ini sama atau meningkat.
"Nanti persetujuan politik DPR dan pemerintah," ujarnya, Rabu (27/4).
Meski demikian, dengan adanya tax amnesty, Bambang yakin akan banyak dana repatriasi yang ikut masuk ke dalam negeri. Untuk menampung gelontoran dana segar repatriasi tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai instrumen.
Mulai surat berharga negara (SBN), deposito satu bulan, serta surat berharga badan usaha milik negara (BUMN). Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menyiapkan instrumen seperti reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) dan modal ventura. Tarif tebus ini pun nantinya bisa ditempatkan di perbankan buku 3 dan 4.
"Jadi sekarang (dana repatriasi) pun sudah bisa masuk lewat deposito satu bulan sekarang pun sudah bisa. Tapi ada OJK mungkin masih harus finalisasi," katanya.
Sementara, terkait dengan masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri yang mempermasalahkan adanya kemungkinan dana hasil korupsi dalam tax amnesty, hal ini disebut Bambang telah dibicarakan sebelumnya dan menyetujui apa yang ada di RUU Tax Amnesty.
Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) atas tax amnesty telah melalui pertemuan. Hasilnya, PPATK dan Kemenku sepakat sat ada wajib pajak (WP) yang mengikuti tax amnesty, maka Kemenkeu akan memberi infromasi bahwa ada WP yang memiliki sejumlah uang dan akan melakukan repatriasi.