REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai acuan awal, Indonesia mengikuti kriteria pariwisata halal dalam Global Muslim Travel Index (GMTI). Di dalam negeri, Kementerian Pariwisata sudah memiliki pedoman usaha hotel halal.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Dadang Rizki Ratman mengatakan, wisata halal tergolong wisata minat khusus. Konsumen sektor wisata yang mayoritas Muslim ini butuh makanan halal dan tempat ibadah. Maka standarnya disesuaikan kebutuhan mereka.
Indikator pengembangan destinasi halal ada di GMTI yang punya tiga kelompok standar yang diturunkan dalam 11 indikator. ''Sementara ini kami mengacu dulu pada GMTI sambil mencari standar wisata halal lain yang juga diacu secara global,'' kata Dadang usai penandatanganan kerja sama peran industri jasa keuangan antara Kementerian Pariwisata dengan OJK di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Selasa (19/4).
Standardisasi untuk industri pariwisata tersebut dinilai perlu karena ada kebutuhan dari pasar. Meski, saat ini hal itu masih mengikat secara sukarela.
Dalam sertifikasi halal, Kemenpar mendukung agar restoran melakukan sertifikasi halal meski otoritas halal sendiri ada MUI. Hal ini berbeda dengan standar pariwisata biasa yang sifatnya wajib.
''Karena pokok wisata halal adalah kemudahan ibadah. Tapi begitu urusan bisnis, industri akan mengikuti,'' ungkap Dadang.
Ia mengakui, yang sudah ada memang baru pedoman usaha pariwisata halal untuk hotel. Pedoman usaha pariwisata halal untuk restoran, spa, dan biro perjalanan masih dibahas dan dalam proses pembentukan. Penerapannya pun akan bertahap. Penerapannya akan diprioritaskan di tiga provinsi yakni Lombok, Sumatera Barat dan Aceh, melihat tidak semua daerah butuh ini.
Pada 2019, Pemerintah Indonesia menargetkan kunjungan wisata bisa mencapai 20 juta wisatawan mancanegara dan 275 wisatawan nusantara pada 2019. Wisatawan yang memiliki preferensi pariwisata halal sendiri diharapkan bisa mencapai lima juta orang pada 2019. Pada 2019, kontribusi sektor pariwisata diharapkan bisa mencapai 15 persen terhadap PBD Indonesia, menghasilkan devisa Rp 240 triliun dan menciptakan lapangan kerja bagi 13 juta orang.