REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- PT Blue Bird mengaku masih enggan untuk bergabung dengan transportasi berbasis aplikasi yang belum berbadan hukum.
"Kita tidak bisa sebut, tapi belum tentu bisa gabung, itu bukan mau kita yang mau pihak sana," kata Direktur Perseroan Blue Bird Sigit Priawan Djokosoetono dalam diskusi di Jakarta, Jumat (18/3).
Sigit mengaku meskipun skemanya business to business, hal itu akan dirasa sulit karena pihak angkutan aplikasi belum memiliki izin operasi. "Dua perusahaan itu harus ada izin pengoperasian taksi, aplikasinya sih nggak masalah, tapi mobilnya apa kecuali kita beli perusahaannya," katanya.
Dia mencontohkan salah satu perusahaan aplikasi yang menggandeng perusahaan penerbangan atau maskapai dan hotel yang keduanya sama-sama memiliki izin. "Kita lihat Traveloka, dia juga menggandeng hotel dan maskapai, tapi hotelnya punya izin, maskapainya juga punya izin," katanya.
Namun, tidak tertutup kemungkinan jika telah dikaji seluruh aspeknya, Sigit akan membuka diri untuk menerima penggabungan tersebut. "Banyak aspek yang harus kita lihat dan kaji terlebih dahulu, harus dicari win-win solution," katanya.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan sebelumnya telah menyatakan perusahaaan penyedia layanan perangkat lunak atau aplikasi dapat bekerja sama dengan operator angkutan umum yang memiliki izin resmi. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugihardjo mengatakan angkutan resmi tersebut dapat berupa operator taksi atau angkutan sewa.
"Kementerian Perhubungan mewajibkan peningkatan kualitas layanan angkutan umum secara menyeluruh dan mendorong penggunaan teknologi informasi dan komunikasi," katanya.
Dia menambahkan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyelenggaraan angkutan umum dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia yang memiliki izin penyelenggaraan angkutan, dilayani oleh kendaraan umum dan dikemudikan oleh pengemudi yang memiliki SIM umum.