REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Produk Industri Kehutanan. Permendag tersebut harus direvisi karena dapat mengganggu kinerja ekspor produk hasil kehutanan.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah menghapus kewajiban Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) bagi beberapa produk. "Permendag tersebut harus cepat direvisi untuk mengembalikan kepercayaan dari Uni Eropa," kata Liana dalam acara diskusi Forum Komunikasi Wartawan Ekonomi Makro (FORKEM) di Jakarta, Senin (7/3).
Liana menceritakan, para anggota APKI yang sudah mengantongi SVLK tetap dikenakan uji tuntas saat mengekspor ke Uni Eropa semenjak keluarnya Permendag tersebut. Biaya uji tuntas itu pun tak murah yakni mencapai 2.500-3.000 dolar AS setiap pengiriman. "Sertifikat SVLK ini tidak dipercaya lagi sehingga kena uji tuntas," ujar dia.
Dia mengatakan, Uni Eropa tidak percaya dengan produk hasil kehutanan Indonesia karena tidak konsistenya kebijakan pemerintah dalam menerapkan sertifikasi produk. Permendag 89 tahun 2015 bertentangan dengan perjanjian Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) yang sudah ditandatangani Indonesia dengan Uni Eropa.
Menurutnya, aturan mengenai SVLK sudah hampir lima kali dikeluarkan kemudian dicabut. Ini tentu menimbulkan pertanyaan dari Uni Eropa yang sudah menandatangani ratifikasi.
Liana menambahkan, kepercayaan dari Uni Eropa menjadi sangat penting. Sebab, Uni Eropa menjadi barometer negara-negara lain, khususnya dalam hal perdagangan produk hasil kehutanan.
"Kalau ke Uni Eropa lancar, maka ke negara lain akan lancar. Kalau tidak direvisi, akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia ke berbagai negara karena ada kasus ketidakpercayaan terkait sertifikasi SVLK," ujarnya.