Senin 18 Nov 2019 17:42 WIB

Ekspor Produk Kayu Indonesia Capai 10,2 Miliar Dolar AS

Ekspor kayu asal Indonesia kurun waktu 2015 hingga 2019 mencapai 65 miliar dolar AS.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi ekspor produk kayu asal Indonesia hingga pertengahan November mencapai 10,2 miliar dolar AS. Capaian nilai ekspor tersebut telah melampaui target tahunan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebesar 9,2 miliar dolar AS.

Mengutip data KLHK, dari nilai ekspor kayu tersebut, volume ekspor kayu mencapai 12 juta ton. Adapun, nilai ekspor produk kayu pada tahun 2018 lalu sebesar 12,13 miliar dolar AS dengan volume ekspor sebesar 16 juta ton.

Baca Juga

Secara kumulatif nilai ekspor kayu asal Indonesia kurun waktu 2015 hingga saat ini mencapai 65 miliar dolar AS dengan total volume mencapai 94 juta ton.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Rofi'i menuturkan, secara formal, pemerintah Indonesia telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK. Sistem tersebut untuk memastikan produk kayu dan seluruh bahan bakunya diperoleh dari sumber yang jelas asal-usulnya. Sekaligus, memenuhi aspek legalitas dan kelestarian lingkungan.

Setelah 10 tahun berjalan, tren ekspor kayu terus mengalami peningkatan. "Ekspor produk kayu terus meningkat ini karena adanya kepercayaan dari negara mitra karena aspek legalitas melalui SVLK diterapkan," kata dia.

Rofi'i mengakui, beberapa pihak khususnya pengusaha di industri kayu ada yang mengeluhkan SVLK karena dianggap mempersulit ekspor. Namun, ia mengatakan, seharusnya pengusaha memahami bahwa SVLK digunakan sekaligus untuk membantu dunia usaha itu sendiri.

Soal melonggarkan SVLK, Rofi'i mengatakan tidak mudah karena harus ada kajian yang mendalam. "Memang semua sistem tidak ada yang sempurna. Tapi kita juga tidak bisa semena-mena mengubah aturan karena ini berkaitan dengan perjanjian antar negara," kata Rofi'i.

Pihaknya mengingatkan, bagi pelaku usaha industri kayu maupun olahan kayu yang saat ini tidak berizin, tidak akan bisa masuk ke dalam sitem yang legal. Seluruh perdagangan ekspor yang dilakukan dinyatakan ilegal.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KLHK, Agus Justianto menambahkan, penerapan SVLK dalam 10 tahun terakhrimenjadi momen penting bagi Indonesia untuk menjawab keraguan pasar dunia atas kayu asal Indonesia.

Tercatat, sejak SVLK resmi diwajibkan bagi seluruh pelaku usaha tahun 2013 lalu, setidaknya sudah ada 1,15 juta dokumen V-Legal yang diterbikan hingga 15 November 2019. Dokumen tersebut sebagai bukti legalitas bagi produk kayu yang diekspor ke pasar dunia.

Ia melanjutkan, ekspor produk kayu bersertifikat legal secara langsung meningka sejak 2013 lalu. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, total ekspor produk kayu bersertifikat pada tahun 2018 mencapai 12,13 miliar dolar AS.

Ekspor tersebut terdiri dari sembilan produk kayu yang meliputi pulp, kertas, panel, vinir, woodworking, chipwood, furnitur, kerajinan, dan bangunan pre-fabricated.

Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspor produk kayu bersertifikat legal ke pasar dunia tahun 2013 lalu yang mencapai 6,05 miliar. “Jadi, SVLK tidak dimaksudkan untuk menjadi hambatan bagi para pekaku usaha untuk melakukan ekspor, tetapi menjadi alat bantu untuk menunjukkan bahwa produk kayu dari Indonesia berasal dari sumber yang legal dan lestari,” kata Agus.

Lebih lanjut, Agus menyampaikan, ditinjau dari sisi deforestasi, instrumen SUVLK bisa cukup membantu. Berdasarkan hasil pemantauan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah termin 2015-2017 menunjukkan bahwa standar PHPL yang didapat menunjukkan tingkat deforestasi sebesar 3,10 persen. Angka itu lebih rendah dibanding hutan yang dikelola tidak dengan standar keberlanjutan, yaitu mencapai 10,92 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement