REPUBLIKA.CO.ID, Lembaga keuangan, khususnya perbankan, memiliki peran besar dalam menggerakkan perekonomian negara. Luasnya wilayah Indonesia dengan demografinya yang majemuk menjadi peluang sekaligus tantangan untuk memenuhi kebutuhan dari fungsi intermediasi perbankan.
Rezim pemerintahan saat ini, yang memiliki misi membangun Indonesia dari daerah, diharapkan bisa menjadi katalis untuk menumbuhkan geliat ekonomi daerah. Harus diakui, pemerataan ekonomi memang belum tercapai, mengingat sumber-sumber ekonomi kerap tersentralisasi di kota-kota besar.
Di sinilah peran bank perkreditan rakyat (BPR) sangat diharapkan. Untuk diketahui, BPR sudah ada sebelum kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan lumbung desa, bank desa, bank tani, dan bank dagang desa atau bank pasar.
Keberadaannya yang sampai ke lokasi terpencil di daerah dan pengetahuannya yang lebih terhadap potensi dan karakteristik daerah menjadi suatu keunggulan tersendiri dibanding bank umum. Pangsa pasar yang terfokus ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun menjadi peran yang tak bisa diabaikan dalam mendorong perekonomian.
Hanya, dengan jumlahnya yang banyak, selain dibutuhkan regulasi yang mendukung, pengawasan yang baik pun menjadi suatu kebutuhan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah BPR di Indonesia per November 2015 mencapai 1.638.
"Jumlah BPR memang banyak dan tersebar hingga pelosok daerah. Tapi, tak mengurangi pemantauan kami setiap hari. Kami mencermati semua gejala yang ada," kata Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Samsu Adi Nugroho.
Hasilnya, dalam satu dekade ini sudah lebih dari 60 bank yang dicabut izinnya. Satu berupa bank umum, sisanya BPR. Teranyar, ada dua BPR yang dicabut izin usahanya oleh OJK Januari 2016, yakni PT BPR Mitra Bunda Mandiri dan PT BPR Agra Arthaka Mulya.