Rabu 03 Feb 2016 23:22 WIB

Asosiasi Berharap Pemerintah Segera Sesuaikan Harga Gas

Tabung gas
Foto: M Syakir/Republika
Tabung gas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Dua asosiasi industri berharap pemerintah segera menyesuaikan harga gas agar industri di dalam negeri lebih kompetitif. Apalagi, harga gas di luar negeri saat ini sudah mengalami penurunan.

“Harga minyak mentah dunia saat ini turun 75 persen mencapai 30 dolar AS per barel, hal ini kemudian diantisipasi pemerintah dengan menurunkan harga BBM melalui deregulasi tahap III. Namun sayangnya, harga gas sampai saat ini tidak berubah,” kata Sekjen Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Ridwan Adipoetra seperti dikutip Antara, di Jakarta, Rabu (3/2).

Menurut Ridwan, kalau hal seperti ini dibiarkan, maka akan membuat industri kimia di dalam negeri semakin sulit bersaing. Penyesuaian harga gas baru diberikan kepada industri pupuk dari 10 dolar per MMBTU menjadi 7 dolar AS per MMBTU.

“Industri kimia tidak menuntut harus turun 75 persen sesuai harga minyak mentah, turun sebesar 20 persen saja sudah sangat membantu dari posisi saat ini berkisar 8 sampai 10 dolar AS per MMBTU,” lanjut Ridwan.

Harga gas di berbagai negara saat ini, kata Ridwan, memang berbeda-beda. Namun, hal yang jelas adalah harga gas telah mengalami penurunan. Menurut Ridwan, belum turunnya harga gas domestik akan berpengaruh kepada industri yang mengkonsumsi gas sebagai bahan baku, seperti industri petrokimia serta industri keramik yang rata-rata komponen gas dipergunakan 10 sampai 50 persen.

Hal serupa juga disampaikan Sekjen the Indonesian Olefin and Plastic Association (Inaplas) Fajar Budiono. Menurut Fajar, harga gas saat ini tidak berubah masih 8,5 sampai 10 dolar AS per MMBTU. Padahal, kalau melihat harga di luar negeri seharusnya bisa di bawah 6 dolar AS per MMBTU.

Fajar mengaku pihaknya dalam berbagai forum dengan Kementerian Perindustrian telah meminta agar harga gas dapat segera dilakukan penyesuaian mengikuti harga yang berkembang di pasar.

Kalau harga gas masih manteng di posisi 8 dolar AS sampai 10 dolar AS per MMBTU, kata dia, maka tidak tertutup kemungkinan industri petrokimia dan plastik akan mencari bahan baku subtitusi, seperti batu bara. Untuk beralih ke batu bara sangat dimungkinkan karena awalnya industri petrokimia memang menggunakan batu bara.

“Bisa juga menggunakan solar dengan harga industri, mengingat harganya saat ini Rp 6.200 per liter, masih terjangkau ketimbang harga gas,” kata Fajar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement