REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa melihat pertanaman padi 2016 berisiko. Hal tersebut disebabkan dampak anomali perubahan iklim yang membuat kekacauan jadwal tanam. Di sejumlah tempat terjadi hujan, tapi tiba-tiba kering lagi.
"Sebagian petani masih menunggu, belum berani tanam karena iklim belum menentu," kata dia kepada Republika, Rabu (13/1). Meski saat ini sudah masuk musim hujan, intensitasnya masih relatif rendah.
Oleh karena itum diperlukan koordinasi yang betul-betul intens antara pemerintah dan petani agar memeroleh pemahaman yang tepat soal adaptasi perubahan iklim. Koordinasi tersebut jangan sampai berujung pada kegagalan panen.
Sementara menunggu tanam padi, ia mengusulkan agar petani menanam padi dengan masa tanam pendek. Di beberapa galur kawasan sawah, ada usia tanam padi yang hanya 80 hari, lebih pendek dari waktu normal sekitar 90-100 hari. Atau jika tidak, mereka bisa menanam palawija sembari menunggu hujan.
Anomali perubahan iklim harus disikapi dengan bijak dan realistis di tengah agenda peningkatan produktivitas padi 2016 yang dicanangkan pemerintah. "Kita perlu sama-sama realistis menghadapi situasi ini," katanya.
Menurutnya, jangan sampai petani disuruh tanam serempak, tapi tidak ada jaminan mereka untung." Lagi pula, petani pun sebenarnya sudah terbiasa memperkirakan kapan mereka harus panen tanpa diakhiri gagal," ujarnya.
Pemerintah, lanjut Dwi, harus belajar dari kejadian 2015. Dimana El Nino berdampak pada ketidakberdayaan pemerintah menanggulangi fluktuasi harga pangan, pun mengontrol harga bahan pangan strategis. Harus ada ada sistem prediksi yang lebih akurat sehingga perencanaan pertanian nasional lebih berkelanjutan.