Sabtu 26 Dec 2015 16:35 WIB

Freeport Minta Pengawalan Tokoh Masyarakat Papua

Red: Nur Aini
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin

REPUBLIKA.CO.ID,TIMIKA -- PT Freeport Indonesia memohon tokoh masyarakat Papua mengawalnya di tengah kondisi politik di Jakarta yang dinamis menjelang masa kontrak karya perusahaan itu berakhir pada 2021.

"Tolong kawal kami sebagai keluarga besar," kata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin ketika memberikan sambutan pada acara Ramah Tamah Manajemen PTFI Bersama Pemangku Kepentingan di Hotel Rimba Papua, Timika, Sabtu (26/12).

Maroef mengatakan, saat ini banyak orang-orang di luar Papua yang menunjukkan seolah-olah lebih mengetahui Papua, khususnya Freeport. Padahal yang paling mengetahui dan mengenal masalah Freeport adalah masyarakat Papua, khususnya di sekitar area pertambangan seperti suku Amungme dan Kamoro.

"Orang-orang yang ribut di Jakarta tidak akan merasakan dampak jika perusahaan ditutup. Tapi, masyarakat Papua yang merasakannya," katanya.

Maroef mengajak masyarakat Papua untuk menggunakan akal dan hati secara paralel berkaitan dengan pengelolaan Freeport. "Freeport tidak akan berjalan sendiri, tapi jalan bersama tokoh masyarakat Papua," katanya.

Ia juga mengajak masyarakat Papua untuk lebih memikirkan masa depan anak-anak Papua selagi masih ada kontribusi Freeport dalam pembangunan masyarakat di sekitar pertambangan. "Pikirkan anak cucu. Jangan kita hanya bertengkar. Jika ada masalah yang belum terselesaikan mari kita bicarakan," katanya.

Ia mengingatkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Karena itu ia minta agar kontribusi Freeport kepada masyarakat digunakan untuk mempersiapkan generasi mendatang misalnya melalui pendidikan dan kesehatan.

Ketua Forum MoU dari suku Amungme Yopi Kilangin mengatakan, masih menginginkan supaya Freeport tetap melanjutkan kontrak. Jika memang masih ada permasalahan antara masyarakat dengan perusahaan seperti masalah hak ulayat lahan dan kompensasi, ia mengatakan setuju itu diselesaikan secara kekeluargaan. "Kami harap kita bicara lebih terbuka dan detil langsung dengan orang yang punya hak yakni kami dari suku Komoro dan Amungme," katanya.

Sedangkan pimpinan Lembaga Masyarakat Adat Kamoro (Lemasko) Mariamus Maknaipeku mengatakan, masih membutuhkan Freeport tetap di Papua karena perusahaan itu berkontribusi dalam pembangunan perekomomian, kesehatan dan pendidikan. Namun, ia minta agar masyarakat adat yang ada di sekitar lokasi pertambangan tidak hanya dijadikan sebagai penonton, tapi sebagai pelaku.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement