REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Managemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FE-UI) menilai, berdasarkan hasil benchmarking badan usaha milik negara (BUMN) terhadap BUMN di kawasan ASEAN, daya saing BUMN Indonesia masih kalah.
Managing Director LM FE UI Toto Pranoto mengatakan, BUMN harus lebih sigap dalam menjawab tantangan ASEAN market integration 2015. "Tantangan internal BUMN di tingkat pemangku kepentingan terletak pada penyelarasan perundangan yang melingkupi gerak bisnis BUMN, terutama yang bersifat birokratif dan penilaian kinerja perusahaan-perusahaan BUMN," ujarnya dalam seminar Reshaping, Sharpening dan BUMN Outlook 2016 di Jakarta, Kamis (17/12).
Dalam laporan audit BPK 2014 menunjukan nilai jual 121 BUMN sebesar Rp 1,997 triliun dimana hampir 90 persen disumbangkan 25 BUMN. Kondisi ini, kata dia, meninjukan pareto condition.
"Total aset BUMN pada 2014 mencapai sekitar Rp 4,579 triliun, namun kemampuan BUMN dalam menciptakan laba relatif rendah, yakni sekitar Rp 219 triliun," tutur Toto.
Ia melanjutkan, angka-angka di atas menunjukan kemampuan BUMN dalam pengelolaan aset dan menciptakan laba masih relatif rendah.
LM FE-UI menemukan super holding company (SHC) Temasek yang membawahi 15 perusahaan investasi masih lebih superior dibandingkan 20 BUMN yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal yang sama, lanjutnya, saat BUMN yang sudah tercatat di pasar modal dibandingkan dengan BUMN Malaysia Khazanah Nasional yang membawahi 24 perusahaan investasi(di luar Petronas, Red).
Apabila analisa diperdalam pada sembilan kelompok Industri, ia menyatakan, BUMN yang relatif memiliki daya saing tinggi hanya pada industri telekomunikasi.
"Sektor-sektor unggulan lain mencakup perbankan, properti, dan transportasi udara Indonesia yang dikelola BUMN masih kalah bersaing dengan Temasek," sambung dia.