REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan mengalami depresiasi sebesar 7,2 persen secara tahunan pada 2016. Berakhirnya stimulus moneter di Amerika Serikat berpotensi memicu terjadinya arus modal keluar dalam jangka pendek.
"Tantangan the Fed masih mengancam next year. Kita punya tujuh persen depresiasi," jelas Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, saat Seminar Indonesia Economic Outlook 2016, Enhancing the Supply Side yo Achieve a Sustainable Growth, di Universitas Indonesia, Kamis (12/11).
Ia memproyeksikan pada kuartal pertama 2016, nilai tukar rupiah akan bergerak di level Rp 14.000-an per dolar AS. Pelambatan dinilai akan terus terjadi pada kuartal kedua hingga empat, yang membuat rupiah berada di level terburuknya Rp 14.700-an.
Menurut Fithra, semakin terbukanya ekonomi Indonesia maka semakin rentan pula terhadap gejolak eksternal khususnya pergerakan nilai tukar. Tekanan terhadap rupiah juga merupakan imbas dari sikap investor yang mulai berjaga-jaga mengantisipasi kenaikan suku bunga the Fed.
"Saya rasa nggak akan naik the Fed tahun ini. Mereka masih menunggu target yang belum tercapai. Tapi ini bikin sakit karena kita mesti mantengin terus," katanya.
Ia menilai intervensi dari Bank Indonesia (BI) yang cukup efektif. Namun, jika tahun depan terjadi depresiasi lebih besar, menurutnya, harus ada kebijakan yang lebih ketat.
Kondisi kurs rupiah dinilainya telah diantisipasi industri. Perusahaan telah memproyeksi rupiah hingga level Rp 15 ribu per dolar AS.
Selain karena kondisi eksternal, rawannya arus modal keluar ini juga dipengaruhi kondisi internal. Menurutnya, dari segi infrastruktur masih menjadi pertimbangan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Kita juga masih sulit menentukan visi ke depannya yang dinilai kurang mendukung bagi para investor," ujarnya.