REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai program pemerintah dalam mewujudkan target listrik 35 ribu mega watt (MW) sangat kompleks. Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain mengatakan hal ini berkaca pada tantangan yang dihadapi program percepatan (fast track) tahap I dan II.
"Dari sini muncul keraguan berbagai kalangan masyarakat akan kemampuan pemerintah mewujudkan target 35 ribu MW dalam lima tahun ke depan," kata Iskandar dalam pernyataan tertulis kepada Republika, Kamis (5/11).
Iskandar menilai berbagai permasalahan, mulai dari perizinan, pembebasan lahan, kasus-kasus hukum, hingga aspek pascaoperasi menjadi tantangan pemerintah, PLN dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah dinilai perlu bekerja lebih keras mengingat begitu kompleksnya permasalahan di sektor ketenagalistrikan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 di bidang ketenagalistrikan, pemerintah telah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit dari 50,7 giga watt (GW) menjadi 86,6 GW. Pemerintah juga membidik peningkatan rasio elektrifikasi dari 81,5 persen menjadi 96,6 persen.
Hal tersebut diindikasikan dengan investasi pemerintah Presiden Joko Widodo di bidang ketenagalistrikan diawal Mei 2015 yang meluncurkan program 35 ribu MW. Nilai investasinya mencapai seribu triliun rupiah.
Pembiayaannya dari kerja sama PT PLN dengan sektor swasta dengan skema independent power producer (IPP) dan engineering procurement and construction (EPC). Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo menjelaskan bahwa pembangunan listrik pedesaan skala kecil di wilayah perbatasan, terpencil, dan pulau-pulau terluar menjadi bagian tak terpisahkan dalam usaha meningkatkan rasio elektrifikasi. Pemerintah pusat, daerah, swasta, lembaga, dan organisasi masyarakat perlu terlibat dalam pembangunan listrik ini.
"Namun demikian, sisi keberlanjutan pengelolaannya masih menjadi masalah besar karena banyak pembangkit skala kecil belum berjalan sebagaimana yang diharapkan," katanya.