Rabu 04 Nov 2015 04:35 WIB

Industri Rotan Butuh Resi Gudang

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Djibril Muhammad
Harga Rotan Beranjak Naik: Pengrajin menghaluskan kursi yang terbuat dari rotan di bengkel rotan, Jakarta, Rabu (18/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Harga Rotan Beranjak Naik: Pengrajin menghaluskan kursi yang terbuat dari rotan di bengkel rotan, Jakarta, Rabu (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Manager Promoting Sustainable Consumption and Production Eco Friendly Rattan Products Indonesia (PROSPECT) Listoman Tanjung mengatakan, industri hulu rotan membutuhkan resi gudang untuk menampung produksi rotan di dalam negeri.

Sebab, produksi rotan sangat berlimpah yakni sebesar 600 ribu ton sedangkan penyerapannya hanya sekitar 100 ribu ton sampai 150 ribu ton per tahun. "Kami sudah minta sejak 2013, namun sampai sekarang realisasinya belum ada," ujar Tanjung di Jakarta, Selasa (3/11).

Tanjung menjelaskan, kendala untuk membangun resi gudang bahan baku rotan yakni karena tidak ada lembaga sertifikasi yang menanungi. Biasanya, syarat agar salah satu komoditas bisa memiliki resi gudang adalah harus ada lembaga sertifikasi yang ditunjuk atau diberikan otoritas oleh pemerintah.

Resi gudang untuk rotan ini dimaksudkan agar penyimpanan rotan bisa tahan lama sehingga memudahkan pelaku usaha rotan hilir.

Tanjung mengatakan, nantinya rotan yang disimpan dalam resi gudang merupakan rotan yang sudah diolah dan siap pakai sehingga bisa bertahan lama yakni antara enam bulan sampai satu tahun.

Selain itu, resi gudang juga berguna untuk memberikan keseimbangan harga antara petani dan pelaku usaha hilir. Saat ini harga rotan sedang jatuh yakni hanya Rp. 1000 per kilogram, padahal idealnya harga rotan sekitar Rp. 2500 per kilogram.

Petani rotan sulit menentukan harga karena tidak bisa menjual langsung kepada pengrajin dan harus melewati pihak ketiga yakni pengepul. Selama ini, pengrajin di hilir memiliki gudang sendiri untuk menyimpan bahan baku. Menurut Tanjung, untuk membangun satu resi gudang minimal membutuhkan biaya sebesar Rp. 5 miliar.

"Penjualan bahan baku rotan tidak langsung kepada pengrajin sehingga petani merugi, dan akibatnya banyak petani rotan yang saat ini beralih menanam pisang karena harganya lebih pasti," kata Tanjung.

Menurut Tanjung, PROSPECT sudah pernah mencoba menghubungkan langsung antara petani dengan pengrajin di hilir namun terkendala oleh permodalan. Tanjung menjelaskan, satu kelompok tani membutuhkan modal sekitar Rp 500 juta untuk perputaran produksi bahan baku. Dia pernah mencoba untuk bertemu dengan Bank Exim, namun bank yang bersangkutan mengajukan syarat harus ada jaminan di hilir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement