Sabtu 31 Oct 2015 20:51 WIB

Pengamat Menilai Indonesia Harus Hati-hati Sebelum Masuk TPP

Rep: c14/ Red: Muhammad Hafil
Gambar peta negara yang bergabung di TPP
Foto: forbes.com
Gambar peta negara yang bergabung di TPP

REPUBLIKA.CO.ID,   JAKARTA --  Dalam lawatannya ke Amerika Serikat (AS), Senin (26/10) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan keinginan Indonesia bergabung ke dalam kerja sama perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP). Namun, sinyalemen Presiden Jokowi tersebut, bila sampai terwujud, dikhawatirkan akan menjerumuskan rakyat Indonesia.

Menurut pakar ekonomi dan kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, persaingan ekonomi di dalam skema TPP jauh lebih ganas. Karena itu, bahkan perpolitikan di AS sendiri terbelah dalam menyikapi TPP. Skema tersebut masih penuh kontroversi, misalnya, dalam hal keberpihakan terhadap kelas menengah di AS.

 “Lalu kita tidak membaca dengan baik pertarungan ini. Kita terus mau bilang, kita mau TPP. Apa-apaan?” ucap Ichsanuddin Noorsy saat ditemui di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/10).

Noorsy juga menegaskan, menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia merupakan sasaran empuk bagi arus liberalisme ekonomi. Apalagi, ketika RI masuk ke dalam TPP.

Terpisah, ekonom Didik J Rachbini juga keberatan bila pemerintah Indonesia buru-buru menyepakati TPP. Sebab, menurut kader Partai Amanat Nasional (PAN) ini, setidaknya Indonesia mesti konsen terlebih dahulu pada kesiapan menghadapi MEA. Baru kemudian, kajian lebih mendalam diperlukan guna mengukur kesiapan dalam menghadapi TPP.

“TPP itu harus dikaji lebih dalam. Karena, TPP termasuk arus //mainstream// liberalisasi. Indonesia itu menghadapi sekarang, liberalisasi di ASEAN, untuk jasa dan keahlian. Ini juga kita masih kerepotan. Liberalisasi dengan Cina, kita masih kelimpungan,” papar Didik J Rachbini di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/10).

Untuk itu, kata Didik, para pembantu Presiden harus memberikan data yang benar-benar tepat. Jangan sampai keinginan Presiden tersebut didasarkan pada dorongan yang tidak berbasis kalkulasi terukur atau laporan yang kurang objektif dari para menteri.

“Itu harus menteri-menterinya memberikan informasi setepat-tepatnya, dikaji dulu. Kan ini baru keinginan (Presiden untuk Indonesia masuk TPP),” tukas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement