Kamis 15 Oct 2015 16:05 WIB

DPR: Masak Negara Kalah Sama Freeport?

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Freeport (Ilustrasi)
Foto: akunesia.com
Freeport (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menyayangkan sikap pemerintah yang melunak dalam menghadapi PT Freeport Indonesia. Kardaya menilai, Freeport seharusnya tetap tunduk terhadap aturan yang ada saat ini. Dia menganggap Freeport telah melanggar aturan ketika perusahaan berbasis di AS ini mengulur waktu divestasi dengan dalih menanti revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014.

"Masalah Freeport ini saya kalau dikasih judul Freeport yang repot, karena masalah divestasi itu kan ada di UU, lalu ketentuannya harus dilakukan divestasi ke pemerintah, kalau seandainya Freeport belum akan menawarkan divestasi yang sudah diatur UU, itu kalau menurut saya dia yang melanggar UU," ujar Kardaya saat ditemui usai menjadi pembicara dalam diskusi di BPPT, Kamis (15/10).

Kardaya menyebutkan bahwa aturan perpanjangan operasi pasca-2021 harus dipertegas oleh pemrintah. Artinya, ketika saat ini masih ada aturan yang masih tegak berdiri maka mau tidak mau pemeritah harus tunduk pula pada aturan tersebut. Perkara akan ada perubahan atau revisi aturan, setidaknya hingga aturan itu berjalan maka aturan saat ini masih berlaku.

"Masak negara kalah sama freeport? Di kontrak gini bilang begini, kalau mau kontrak sekarang 2021, seharusnya ada statusnya baru, yang penting kita ada UU ikutilah UU. Sampai Freeport tidak mengikuti bagaimana kedaulatan kita, kalau masih mau bekerja di Indonesia, harus ikut UU, perpanjangan kan bukan hak dia," ujarnya menjelaskan.

Seharusnya Freeport sudah mulai menawarkan sahamnya kepada pemerintah pada 14 Oktober 2015. Namun, perusahaan berbasis di AS ini mengulur waktu divestasi dengan alasan menanti revisi PP 77 tahun 2014. Saham yang ditawarkan nanti, berdasarkan skala prioritas akan ditawarkan kepada pemerintah terlebih dahulu. Setelah itu posisi kedua ditawarkan kepada BUMN, prioritas ketiga BUMD, dan terakhir swasta, termasuk melalui penawaran saham umum perdana (IPO). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement