Selasa 13 Oct 2015 15:07 WIB

Pemerintah Dinilai Lembek Hadapi Freeport

Rep: C14/ Red: Nur Aini
Freeport (Ilustrasi)
Foto: akunesia.com
Freeport (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memberi sinyal positif perpanjangan kontrak kerja PT Freeport Indonesia meski belum memenuhi kewajiban sesuai undang-undang. Pengamat energi IRESS Marwan Batubara menilai pemerintah belakangan ini tak bersikap tegas terhadap Freeport. Dia menekankan, semestinya pemerintah meninjau terlebih dahulu aturan-aturan yang masih berdampak timpang bagi kepentingan negara.

"Kita harus memperbaiki semua yang ada di dalam undang-undang yang relevan dengan kebutuhannya si Freeport. Makanya, perlu ada Perppu, bukan dengan PP (peraturan pemerintah)," ujar Marwan Batubara saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/10). "Masalahnya, kalau mau tanda tangan kontrak atau izin saja tanpa undang-undangnya diperbaiki dulu, itu kelihatan sekali negara ini tidak punya kedaulatan, tidak punya martabat."

Menurut dia, sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sudah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang, khususnya UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Dalam beleid tersebut, ada ketentuan bahwa satu tahun setelah UU Minerba ditetapkan, semua ketentuan yang ada dalam Kontrak Karya (KK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (PKP2B ) harus disesuaikan.

"Maka terjadi renegosiasi. Ternyata kan itu lewat sampai sekarang pun renegosiasi itu belum tuntas. Artinya, perintah untuk menyesuaikan ketentuan itu belum dijalankan. Itu sudah pelanggaran UU kan," kata dia.

Salah satu persoalan yang hingga kini belum tuntas, lanjut dia, yakni tenggat waktu pembangunan pabrik pengolahan bijih mineral (smelter) di Tanah Air. Padahal, lima tahun setelah UU Minerba berlaku, smelter itu sudah mesti dibangun. Namun, demi memperlonggar tenggat waktu bagi PT Freeport, pemerintah saat itu justru mengeluarkan PP.

"Ternyata kan waktu itu SBY menerbitkan PP Nomor 1/2014. Nah, itu pelanggaran yang lain. Maksud saya, kalau itu tidak dikoreksi, pemerintahan (Presiden Jokowi) ini juga sama sudah melanggar UU," ujar dia.

Marwan lantas mempersoalkan sejumlah PP yang merupakan turunan UU Minerba, misalnya, PP 77/2014 tentang perubahan atas PP 23/2010.

Salah satunya, lanjut dia, ketentuan bahwa dua tahun sebelum kontrak berakhir, korporasi baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak. Menurut Marwan, hal itu harus diperbaiki.

Selain penerbitan Perppu, menurut Marwan, solusinya juga bisa melalui perubahan atas PP Nomor 77/2014. Namun, ini dengan catatan kritik yakni, supaya devestasi saham PT Freeport Indonesia dilakukan sehingga Indonesia setidaknya sejak 2025 mendatang menjadi pemegang saham mayoritas.

"Jadi jangan dibiarkan hanya 30 persen, apalagi rencananya mau di-IPO (penawaran saham perdana). Kalau seperti itu, kita tidak bisa mengontrol jalannya perusahaan itu," ungkap dia.

"Tapi kalau kita punya saham, misalnya, menjadi 51 persen, malah kita pengendali utama. Itulah yang mesti diperjuangkan."

Marwan juga menyebutkan, kendali mesti tetap di bawah pemerintah pusat. Pemerintah Papua pun, menurut dia, dapat ikut serta. Kendati demikian, pemerintah daerah diharap tidak tampil sebagai kekuatan sendiri yang berseberangan dengan pemerintah pusat.

"Karena kalau dibiarkan, bisa saja itu si pemda ini nanti dikendalikan sama Freeport. Karena pemda tidak punya uang, lalu Freeport yang talangi."

Ia menilai pemerintah harus membuat konsorsium untuk menangani saham Freeport.

"Ada pemerintah pusat, ada BUMN, BUMD. Supaya kita secara nasional itu solid. Satu suara. Meskipun sahamnya itu bisa saja daerah 10 persen, pusat dan BUMN misalnya 41 persen," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement