Jumat 09 Oct 2015 23:23 WIB

Daya Beli Turun, Pabrik Sepatu Banyak yang Tutup

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Industri alas kaki merupakan salah satu sektor industro yang disiapkan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. (illustration)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Industri alas kaki merupakan salah satu sektor industro yang disiapkan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, pada semester I 2015 sebanyak 70 pabrik alas kaki di Tanah Air tutup. Persentasenya mencapai 19 persen dari jumlah total pabrik alas kaki di Indonesia yang berjumlah 365 pabrik.

Eddy menjelaskan, penutupan pabrik merupakan imbas dari melemahnya daya beli masyarakat. Akibatnya, ada sekitar 36 ribu pekerja di sektor alas kaki terpaksa harus dirumahkan. Industri alas kaki yang tutup sebagian besar merupakan pabrik skala kecil, yang berorientasi di pasar domestik.

"Hal ini terjadi karena penjualan alas kaki, terutama lokal turun 17 persen hingga 20 persen pada semester I 2015 dibandingkan semester I 2014," ujar Eddy di Jakarta, Jumat (9/10).

Eddy menjelaskan, penyerapan APBN sangat kecil sehingga daya beli masyarakat belum terdongkrak. Pada periode Januari-April 2015, industri sepatu hanya menjual semua stok dan diberikan diskon antara 20 persen hingga 50 persen. Harapannya, dengan diskon tersebut bisa laku dibeli masyarakat pada saat lebaran.

Namun, kenyataanya produk tersebut tidak laku karena menurunnya daya beli. "Dengan demikian, otomatis pabrik tidak akan menerima karyawan baru," kata Eddy.

Eddy menjelaskan, paket-paket kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan sinyal baik untuk pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Akan tetapi, pengusaha lebih membutuhkan kepastian berusaha dan antisipasi dari pemerintah.

Eddy mencontohkan, di Cina dan Vietnam pemerintahnya lebih tahu situasi ekonomi di dalam negerinya, serta sudah memprediksi yang terjadi pada jangka panjang. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mengantisipasi setiap kejadian. Sementara, di Indonesia biasanya menunggu kejadian terjadi lebih dahulu, baru dicari penyelesaiannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement