REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penurunan harga minyak mentah dunia belum menjadi cukup alasan bagi pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minak (BBM) bersubsidi. Berdasarkan Peraturan Presiden (perpes) RI Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran, ada variabel lain yang harus diperhitungkan sebelum menurunkan harga BBM, diantaranya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Seperti diketahui saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini saat ini masih tergolong lemah. “Harus digabung antara turunnya harga minyak dunia dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, akhirnya nanti ujungnya berapa, tinggal dimasukkan saja ke formula hitungan yang ada,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada Republika.co.id, Selasa (6/10).
Sepanjang perpres tersebut belum dicabut atau diganti maka saat ingin menetapkan harga BBM, Pertamina harus mengikuti formula yang ada. “Kalau pemerintah menganggap perlu ada subsidi, ubah itu perpres. Jangan seenaknya saja lalu nanti mengorbankan BBM,” kata dia.
Seandainya harga BBM jadi diturunkan, maka Marwan berharap harga barang dan jasa yang mempunyai hubungan kuat dengan item tersebut harus ikut turun. “Apakah ada jaminan bahwa mereka akan bekerja maksimal agar harga itu ikut turun. Kalau tidak, kita nanti akan bermasalah juga,” ujarnya.
Secara garis besar dalam hal menstimulasi perekonomian, penurunan harga BBM berdampak positif sepanjang jumlah penurunannya signifikan. Jika penurunan harganya antara Rp 300 hingga Rp 400 tidak akan ada dampaknya. “Tapi kalau turunnya Rp 1.000 baru ada dampaknya selama pemerintah melakukan intervensi untuk menjamin turunnya barang dan jasa lain,” ucap Marwan.