Selasa 22 Sep 2015 20:03 WIB

Indramayu Tolak Impor Beras

Rep: Lilis Handayani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Impor beras (ilustrasi)
Impor beras (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Rencana impor beras yang digulirkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan, langsung menuai reaksi dari daerah lumbung padi. Mereka menolak impor karena dinilai bisa merugikan petani.

''Saya tidak setuju pemerintah impor beras,'' tegas Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, Firman Muntako kepada Republika, Selasa (22/9).

Firman menyatakan, rencana impor beras menunjukkan pemerintah tidak berpihak kepada petani lokal. Pasalnya, impor akan merugikan petani.

Firman mengakui, areal pertanian di Kabupaten Indramayu pada musim tanam gadu (kemarau) tahun ini terkena dampak el nino yang menyebabkan kekeringan. Namun meskipun demikian, kondisi tersebut hanya menurunkan produksi dan tidak sampai mengganggu produksi.

''Produksi beras di Indramayu masih tetap surplus. Masih aman,'' terang Firman.

Firman menjelaskan, produksi padi di Kabupaten Indramayu rata-rata di atas 1,5 jt ton GKP (gabah kering panen) per tahunnya. Sedangkan kebutuhan konsumsi hanya 250 ribu ton dan diserap Bulog 150 ribu ton.

Itu berarti, Kabupaten Indramayu masih surplus di atas satu juta ton GKP. Beras yang surplus itu kemudian 'diekspor' ke berbagai daerah lainnya, seperti Jakarta, Bandung dan luar Jawa.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang. Dia pun tidak setuju impor beras.

Sutatang menyatakan, impor beras akan membuat harga gabah di tingkat petani menjadi hancur. Padahal, saat ini para petani sedang memasuki masa panen.

Di musim panen sekarang, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani berkisar antara Rp 5.000 - Rp 6.000 per kg. Harga itu jauh diatas harga pembelian pemerintah (HPP) GKP yang hanya Rp 3.700 per kg.

Namun meskipun demikian, tidak semua petani bisa menikmati keuntungan yang besar. Pasalnya, kekeringan selama musim tanam membuat produksi panen menurun drastis.

''Dari daerah yang sudah panen, produksi gabahnya ada yang menurun hingga dibawah 50 persen,'' ujar Sutatang.

Dalam kondisi normal, terang Sutatang, panen menghasilkan tujuh sampai delapan ton gabah kering panen (GKP) per hektare. Namun saat ini, petani hanya bisa menghasilkan dua sampai tiga ton GKP.

''Hal itu terutama dialami petani yang lahannya jauh dari saluran irigasi,'' terang Sutatang.

Sutatang berharap, pemerintah bisa bijak dalam mengambil keputusan tentang impor beras. Jikapun impor terpaksa dilakukan, maka hanya diperuntukkan bagi provinsi-provinsi yang masih kekurangan beras.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement